Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2022

Tiga Tipe Pembeli

Sejauh ini, saya mencatat ada 3 tipe pembeli. Pertama, pembeli yang niatnya memang untuk membeli produk. Pembeli jenis ini biasanya garcep atau gerak cepat kalau ada produk yang sesuai dengan kebutuhan dan kemauannya.  Ia bahkan tak segan melakukan transaksi lebih dulu tanpa tau detail2 produk yang akan dia beli. Sering saya berhadapan dengan tipe pembeli seperti ini. Ada yang setelah nanya harga langsung minta nomor rekening.  Ada lagi yang nanya satu produk. Saya bilang yang dia sukai itu sudah sold. Kemudian dia minta dikirimi beberapa contoh produk yang masih ada, setelah itu deal dan langsung transfer. Intinya, pembeli yang niatnya emang pengen beli sesuatu itu ngak suka berbelit-belit.  Kedua, pembeli yang niatnya ngak pengen beli. Pembeli jenis ini mau dikirimi contoh produk sebanyak apapun ngak akan deal. Sebab, sekali lagi, niatnya bukan untuk membeli. Terus apa? Cuman pengen tanya2 harga. Singkatnya, dia lebih banyak bertanya ketimbang memilih. Boro2 transfer.  Lalu apa yang

Salah Kaprah

Gara-gara tulisan berjudul "orang dalam" kemarin, saya mesti bedebat hingga larut malam. Saya hendak meluruskan, karena ada yang menyimpulkan tulisan itu secara keliru. Saya dituduh secara tidak langsung menjustifikasi orang yang tidak punya pekerjaan, otomatis tidak memiliki kompetensi, skill, apalagi orang dalam.  Yaoloooo, saya ngakak aja. Saya cerita tentang seorang teman yang curhat. Ia bilang susah dapat kerja tanpa bantuan orang dalam. Saya kemudian tertarik menulis sebab ada beberapa orang yang pernah mengeluhkan hal yang sama sebelumnya.  Kalau kita baca dengan baik, sebenarnya inti dari tulisan itu adalah tentang bagaimana pentingnya meningkatkan kompetensi diri. Baik bagi mereka yang telah bekerja, maupun untuk mereka yang tengah berjuang mencari pekerjaan.  Bahwa ada banyak sekali contoh kasus, mereka yang bekerja berkat bantuan orang dalam, juga sebaliknya. Saya bahkan menambahkan satu contoh lagi, ada yang punya koneksi dengan orang dalam, tapi tak mau memanfaat

Orang Dalam

Pagi-pagi sebelum berangkat kerja, saya telponan dengan teman lama. Kami memang sudah lama tak saling bertukar kabar. Sejek beberapa tahun setelah lulus kuliah, komunikasi kami tak seintensif dulu. Ia curhat, mengeluh soal pekerjaan.  "Susah dapat kerja kalau ngak punya orang dalam". Katanya.  Saya tidak kaget. Saya sudah dengar curhatan seperti ini berkali-kali. Ada yang ngeluh soal sulitnya mencari pekerjaan, ada yang telpon untuk sekadar meminta bantuan agar dicarikan lowongan pekerjaan, bahkan ada pula yang ngeluh soal lingkungan pekerjaan yang toxic.  Tapi alasan umum tadi menarik untuk dikaji.  Benarkan susah dapat kerja di Indonesia tanpa bantuan orang dalam? Jawabannya, tergantung. Bisa jadi benar, bisa juga tidak.  Di banyak daerah, menjadi keluarga, kenalan, atau orang yang dekat dengan pejabat adalah privilege yang akan membantu kita dalam banyak hal. Termasuk dalam urusan pekerjaan. Itu sudah rahasia umum.  Tapi di sisi lain, banyak juga yang berasal dari kalangan

Apa itu JODOH?

Ilustrasi (gambar: google) Semalam, saya tanya seseorang tentang konsep jodoh. Saya selalu kurang puas (bukannya tidak percaya) jika pembahasan tentang jodoh ini terlalu cepat diarahkan ke hal-hal berbau agama.  Saya orang beriman. Saya selalu percaya bahwa ada semacam kekuatan yang mengatur maut, rezeki, jodoh, di luar kendali manusia, tetapi saya juga menutut penjelasan logis terhadap hal-hal seperti itu.  Saya percaya orang yang saya tanyai ini punya pemahaman mendalam soal itu. Baik dari sisi agama, maupun akal. Saya selalu berdiskusi banyak hal dengan beliau kalau ada sesuatu yang mengganjal.  Apa sih yang disebut dengan jodoh?  Ada seorang laki-laki tengah menyukai wanita. Ia kemudian berusaha mendekati, membuat dirinya dikenal. Mereka nyambung, lalu pacaran, dan akhirnya menikah. Apakah itu disebut jodoh?  Sebaliknya, ada 2 orang yang sudah pacaran lama, sudah bertunangan, bahkan sudah menyebar undangan, tapi akhirnya tak jadi menikah. Apakah mereka disebut tak berjodoh?  Kalau

Ngobrol Kerjaan dengan Tukang Cukur

Barusan saya pergi ke tukang cukur untuk potong rambut. Sambil melakukan layanan, si tukang cukur nanya banyak hal. Kami ngobrol lumayan panjang seputar pekerjaan.  "Mas kerja dimana?" Ia bertanya.  "Saya kerja sebagai public relations di satu perusahaan di Jakarta. Kerjanya itu menjaga citra perusahaan agar tetap baik di mata klien."  Ia percaya saja. Manggut-manggut, lalu memuji berkali-kali. Padahal saya hanya membual.  "Mas hebat." Katanya.  "Mas juga hebat bisa kerja seperti ini. Potong rambut bukan pekerjaan mudah. Ia menuntut ketelitian. Itulah kenapa di Jakarta banyak barbershop yang mematok tarif mahal. Rambut adalah mahkota. Siapapun rela mengeluarkan banyak uang agar rambutnya terlihat rapi. Kalau saya disuruh kerja seperti mas, jelas saya ngak bisa." "Tapi gajinya kecil mas."  Begini mas; hebat itu ukurannya bukan gaji. Pekerjaan saya dan pekerjaan mas ini sama-sama pekerjaan. Punya pekerjaan tidak serta merta membuat seseor