Langsung ke konten utama

Salah Kaprah

Gara-gara tulisan berjudul "orang dalam" kemarin, saya mesti bedebat hingga larut malam. Saya hendak meluruskan, karena ada yang menyimpulkan tulisan itu secara keliru. Saya dituduh secara tidak langsung menjustifikasi orang yang tidak punya pekerjaan, otomatis tidak memiliki kompetensi, skill, apalagi orang dalam. 

Yaoloooo, saya ngakak aja. Saya cerita tentang seorang teman yang curhat. Ia bilang susah dapat kerja tanpa bantuan orang dalam. Saya kemudian tertarik menulis sebab ada beberapa orang yang pernah mengeluhkan hal yang sama sebelumnya. 

Kalau kita baca dengan baik, sebenarnya inti dari tulisan itu adalah tentang bagaimana pentingnya meningkatkan kompetensi diri. Baik bagi mereka yang telah bekerja, maupun untuk mereka yang tengah berjuang mencari pekerjaan. 

Bahwa ada banyak sekali contoh kasus, mereka yang bekerja berkat bantuan orang dalam, juga sebaliknya. Saya bahkan menambahkan satu contoh lagi, ada yang punya koneksi dengan orang dalam, tapi tak mau memanfaatkannya untuk mendapat pekerjaan. 

Semua adalah fakta yang terjadi di hampir seluruh instansi pemerintah maupun swasta. Saya tak ada masalah dengan itu. Yang saya tekankan adalah, mau bekerja dimanapun kita, bagaimanapun mekanisme perekrutannya, kita tetap harus meningkatkan kompetensi diri. Itu saja. 

Maksud saya, privilege karena punya koneksi itu harus kita manfaatkan secara bertanggung jawab. Artinya, jangan sampai kita diterima kerja, mentok hanya karena bermodal kenalan dengan satu dua orang saja tanpa kompetensi yang memadai. 

Saya juga mengkritik agar kita tidak terlalu mudah menuduh orang lain bisa diterima kerja hanya karena bantuan orang dalam. Dalam konteks ini, sebenarnya saya tidak ingin mengabaikan peran orang dalam, hanya saja saya ingin melakukan pendekatan dari sisi yang lebih positif dan bisa kita kendalikan. 

Kita tidak bisa mengubah privilege yang melekat pada orang lain. Tapi kita bisa mengubah diri kita agar mendapat kesempatan yang sama untuk berkompetisi dengan mereka. 

Saya tidak ingin kita menyalahkan orang lain atas kegagalan yang terjadi pada diri kita. Kalau kebetulan hari ini kita gagal, barangkali karena memang usaha kita yang belum maksimal. Dengan menyadari itu, kita akan lebih bersemangat lagi untuk mengembangkan kompetensi diri kedepannya. 

Anehnya, masih ada saja yang salah tanggap. Barangkali dia tidak baca dulu sebelum komentar. Kalaupun mau menggunakan logika yang sama, pertanyaan saya cuman satu; mungkinkah seseorang bisa bekerja tanpa kompetensi, skill, dan orang dalam? 

Kadang ada yang nyeletuk "yang penting punya orang dalam". Orang jenis ini, adalah orang yang berpikir bahwa segala sesuatu bisa selesai hanya dengan bantuan orang dalam. Atau sebaliknya, sebagus apapun kompetensi, tidak berguna kalau tidak ada orang dalam. 

Nah, saya tidak ingin kita terjebak pada frasa itu. Sebab saya selalu percaya bahwa hanya dengan kompetensi yang baik, peluang untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin tinggi dan terbuka.

Singkatnya, saya hendak mengajak kita untuk berpikir bahwa bukan hanya yang punya orang dalam yang bisa bekerja. Coba perhatikan sekeliling kita. Ada banyak sekali orang yang masuk kerja, bahkan pindah-pindah kerja tanpa koneksi orang dalam. 

Mereka bukan kaum yang dekat dengan pejabat, politisi,  atau yang punya kekuasaan. Mereka adalah orang biasa, anak petani, nelayan, anak tukang becak, anak tukang sapu. Lalu apa yang membuat mereka bisa bekerja tanpa bantuan orang dalam? Kompetensi. 

Yang tak sanggup melihat fakta itu mungkin yang hanya bisa berharap bahwa dia bisa bekerja hanya kalau punya koneksi orang dalam. Atau, ia berusaha menutupi fakta bahwa ia sebenarnya tak punya kualifikasi, lalu seenaknya menuduh setiap orang dapat pekerjaan karena orang dalam. 

Kita boleh berbeda pendapat soal itu. Tak masalah. Tapi kalau tulisan saya direduksi, apalagi disimpulkan serampangan, maka jelas saya punya kewajiban untuk meluruskannya. Saya sangat menghargai perbedaan pendapat, meskipun saya tau tidak semua komentar itu bisa otomatis disebut pendapat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k