Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2021

Tugas Kesejarahan

Suatu hari di bukit tinggi Dalam ilmu sosilologi, pengertian generasi tak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas dasar kesamaan usia, melainkan kesamaan pengalaman, visi, serta panggilan kesejarahan yang membentuk kekuatan perubahan.  Sepanjang sejarah berdirinya republik, gerakan perubahan itu selalu diawali oleh kesadaran kolektif generasi muda dalam merespons situasi zaman. Tak ada perubahan tanpa usaha kesengajaan.  Di mulai dengan berdirinya Budi Utomo pada 1908 yang diketuai oleh Soetomo. Organisasi ini kemudian menjadi pelopor gerakan kebangsaan menyusul berdirinya organisasi-organisasi lain seperti Serekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, hingga Nahdlatul Ulama.  Setelahnya, muncul kembali satu moment penting yang hingga saat ini dan seterusnya akan kita kenang sebagai sumpah pemuda 1928. Sebuah episode heroik perjuangan generasi muda atas panggilan kesejarahan.  Generasi sumpah pemuda secara sadar merespons watak zaman kala itu (kolonialisme dan feodalisme) melalui p

Rezeki itu Maha Luas

Suatu hari di kantor Semesta raya adalah samudera rezeki, dan Tuhan yang maha pengasih telah membekali ciptaan-Nya dengan sebilah kail. Tugas manusia adalah memancing rezeki itu dengan bekerja.  Setiap kita bisa bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisik, otak, atau bisa dengan menggabungkan keduanya dengan mencari titik yang paling dominan. Itulah yang disebut ikhtiar.  Ibarat buih di lautan, rezeki itu tak ternilai baik dari bentuk dan jumlahnya. Ia datang dari segala penjuru. Mulai dari kita bangun di suatu pagi, hingga kita terlelap di malam hari.  Seberapa banyak rezeki yang kita dapatkan sangat tergantung pada kegigihan dan kecakapan kita dalam memenuhi tuntunan hukum semesta. Orang Sumbawa punya frasa bagus "Nonda Latala Raboko" dalam menggambarkan tema ini.  Seekor cicak yang merayap di dinding, karena mengikuti hukum besi kehidupan bisa menangkap seekor nyamuk yang tengah terbang. Demikian juga seekor ayam dengan memaksimalkan potensi cakarnya bisa menemukan biji bij

Sesobek Refleksi Tentang Mataram

Tiap kali menginjakkan kaki di kota ini selalu saja ada yang tidak biasa. Serasa ada sesuatu yang meluap2 dari dalam, yang lalu memompa jantung hingga berdetak lebih cepat dari biasanya.  Mataram ini ibarat kue lapis yang tiap sudutnya menyimpan banyak rasa. Di kota ini, ada begitu banyak endapan kenangan. Beberapa ada yang sembuh, beberapa lagi sering kambuh.  Bagi saya, kota ini adalah cerminan diri. Di banyak sudut, saya melihat diri saya yang setelah sekian lama memang tak banyak berubah. Di tiap sudut itu ada banyak kisah. Ada suka dan duka. Ada kisah indah, ada pula catatan pahit yang masih membekas.  Jika hewan menandai daerah kekuasaannya dengan kencing atau jejak, maka manusia selalu punya cara tersendiri demi menandai tempat yang amat berkesan dalam hidupnya.  Mataram adalah kampung kedua setelah Sumbawa. Saya menandai kota ini sebagai salah satu tempat ideal untuk tinggal dan meniti hidup. Saya selalu berharap agar bisa menetap di kota ini. Suatu saat, dengan seseorang tentu