Langsung ke konten utama

Tugas Kesejarahan

Suatu hari di bukit tinggi

Dalam ilmu sosilologi, pengertian generasi tak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas dasar kesamaan usia, melainkan kesamaan pengalaman, visi, serta panggilan kesejarahan yang membentuk kekuatan perubahan. 

Sepanjang sejarah berdirinya republik, gerakan perubahan itu selalu diawali oleh kesadaran kolektif generasi muda dalam merespons situasi zaman. Tak ada perubahan tanpa usaha kesengajaan. 

Di mulai dengan berdirinya Budi Utomo pada 1908 yang diketuai oleh Soetomo. Organisasi ini kemudian menjadi pelopor gerakan kebangsaan menyusul berdirinya organisasi-organisasi lain seperti Serekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, hingga Nahdlatul Ulama. 

Setelahnya, muncul kembali satu moment penting yang hingga saat ini dan seterusnya akan kita kenang sebagai sumpah pemuda 1928. Sebuah episode heroik perjuangan generasi muda atas panggilan kesejarahan. 

Generasi sumpah pemuda secara sadar merespons watak zaman kala itu (kolonialisme dan feodalisme) melalui penciptaan ruang publik, wacana publik, dan pengorganisasian basis massa secara kolektif. 

Momentum ini kemudian berhasil menghimpun sintesis ide, anasir perjuangan, serta mempersatukan sekat agama, kesukuan, dan daerah di atas ikrar yang mengakui tumpah darah satu, bangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan. 

Pendidikan telah melahirkan satu lapis generasi cerdik cendikia yang mulai mempertanyakan situasi zamannya. Generasi baru ini mulai membayangkan bangsa, mulai mempertanyakan haknya yang telah dirampas selama ratusan tahun. 

Generasi baru ini membaca famflet2 ideologi, mulai memikirkan sebuah negeri baru yang merdeka, yang dibangun di atas ideologi "sama rata sama rasa", frasa yang dipopulerkan jurnalis Mas Marco Kartodikromo. 

Namun, tanpa kesadaran kolektif dan usaha kesengajaan, mustahil berbagai gerakan generasi muda bisa menemukan momentumnya. Bahkan hingga detik2 menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, sejarah mencatat para generasi muda lah yang mendesak Soekarno dan Hatta agar segera memproklamirkan kemerdekaan.

Jauh loncat kedepan, setelah kepemimpinan Sukarno berganti dengan Suharto yang memimpin orde baru selama 32 tahun, sekali lagi generasi muda sebagai anak kandung peradaban republik ini menunjukkan betapa pentingnya eksistensi diri mereka dalam menggerakkan roda sejarah. 

Puncaknya pada Mei 1998, ribuan mahasiswa turun ke jalan, lalu berhasil mengambil alih gedung-gedung pusat pemerintahan. Kepemimpinan tangan besi bernuansa otoriter orde baru tumbang, lalu berganti dengan reformasi yang lebih mengedepankan demokrasi dan menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan dan kebebasan sipil. 

Jalan panjang sejarah republik tak pernah bisa lepas dari gerakan anak muda yang gelisah melihat wajah zamannya. Silih berganti kekuasaan mengajarkan kita bahwa proses regenerasi kepemimpinan itu adalah sebuah keniscayaan. 

Generasi baru akan muncul, mengemban tugas-tugas kesejarahan yang diwariskan generasi sebelum mereka. Dinamika zaman selalu bisa memicu kesadaran kolektif yang berujung pada lahirnya gelombang gerakan perubahan. 

Generasi muda adalah alarm bagi para pemimpin congkak, haus kuasa, serta lebih berpihak kepada kepentingan pemodal dan oligarki ketimbang rakyat kecil. Kelak, waktu akan menjawab. Generasi muda, entah apapun bentuk dan pola gerakannya, akan kembali menunaikan panggilan kesejarahannya. 

Tentu pada setiap zaman, tantangan juga dinamikanya berbeda. Sehingga berbeda pula setiap bentuk gerakan perubahan generasi muda dalam meresponnya. Lahirnya diskursus publik yang sedemikian luas memungkinkan generasi masa kini untuk mengorganisasikan gerakan, menghimpun, serta mendapatkan dukungan massa dengan cara baru dan modern.

Tugas kesejarahan masih panjang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k