Langsung ke konten utama

Orang Dalam

Pagi-pagi sebelum berangkat kerja, saya telponan dengan teman lama. Kami memang sudah lama tak saling bertukar kabar. Sejek beberapa tahun setelah lulus kuliah, komunikasi kami tak seintensif dulu. Ia curhat, mengeluh soal pekerjaan. 

"Susah dapat kerja kalau ngak punya orang dalam". Katanya. 

Saya tidak kaget. Saya sudah dengar curhatan seperti ini berkali-kali. Ada yang ngeluh soal sulitnya mencari pekerjaan, ada yang telpon untuk sekadar meminta bantuan agar dicarikan lowongan pekerjaan, bahkan ada pula yang ngeluh soal lingkungan pekerjaan yang toxic. 

Tapi alasan umum tadi menarik untuk dikaji. 

Benarkan susah dapat kerja di Indonesia tanpa bantuan orang dalam? Jawabannya, tergantung. Bisa jadi benar, bisa juga tidak. 

Di banyak daerah, menjadi keluarga, kenalan, atau orang yang dekat dengan pejabat adalah privilege yang akan membantu kita dalam banyak hal. Termasuk dalam urusan pekerjaan. Itu sudah rahasia umum. 

Tapi di sisi lain, banyak juga yang berasal dari kalangan orang biasa, tapi toh bisa bekerja tanpa proses rekomendasi atau bantuan dari orang dalam tadi. Atau dalam kasus lain lagi misalnya, ada yang punya koneksi baik dengan pejabat, tapi tak mau memanfaatkannya untuk mendapatkan pekerjaan. 

Singkatnya, semua kasus tadi adalah fakta yang sering kita saksikan sama-sama di lapangan. Semua sangat bergantung dari pengalaman dan perspektif mana kita menilai. 

Saat ditanya pendapat soal itu, satu-satunya yang bisa saya sarankan adalah tetaplah berusaha untuk meningkatkan kualitas diri. Baik bagi yang sudah memiliki pekerjaan, ataupun untuk mereka yang tengah berusaha mencari pekerjaan. 

Baik bagi mereka yang berasal dari keluarga pejabat, politisi, orang biasa, kelas menengah, anak petani, anak nelayan, atau apapun itu, intinya tetaplah berusaha untuk meningkatkan kualitas diri. 

Dengan kompetensi yang baik, potensi untuk mendapatkan pekerjaan juga terbuka lebar. Banyak orang mengeluh soal sulitnya mencari pekerjaan, padahal boleh jadi di luar sana, ada banyak sekali lowongan pekerjaan. Hanya saja tidak sesuai dengan kualifikasi yang kita miliki. 

Banyak yang iri dan kerap membandingkan diri dengan orang lain, lalu dengan mudah berlindung dibalik kata "bantuan dari orang dalam". Padahal, boleh jadi masalahnya bukan pada orang lain, tapi pada diri kita sendiri. 

Sekarang, mulailah bersikap jujur pada diri kita. Seberapa keras usaha yang kita lakukan, serta seberapa besar sesuatu yang kita pertahurkan demi menggapai apa yang kita inginkan itu. 

Seseorang pernah berujar ke saya tentang satu hal; kita tidak boleh iri dengan kelebihan rezeki orang lain tanpa usaha memeras keringat dan pikiran yang sama dengan mereka. Sampai sekarang saya meyakini itu. Saya yakin bahwa mereka yang punya kompetensi, selalu bisa survive dalam situasi apapun. 

Sit's happen, but life must go on. Kadang terjadi hal buruk dalam hidup, tapi kita mesti terus melangkah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k