Bakti Sosial |
Bagi masyarakat bantaran sungai, banjir adalah sesuatu yang biasa dialami. Layaknya di tempat lain di Indonesia, di Sumbawa, fenomena banjir kerap terjadi ketika musim penghujan. Baru-baru ini, banjir juga telah menggenang sejumlah desa di kecamatan Alas. Oleh warga setempat, banjir itu dikatakan sebagai banjir terbesar yang pernah terjadi di sana.
Melalui layar kecil ponsel, saya mengamati berita tersebut dengan iba. Saya melihat gambar seorang wanita paruh baya tengah digendong oleh warga lain. Wanita tersebut jatuh pingsan karena terkejut melihat genangan air yang tiba-tiba memasuki rumah penduduk. Dalam suasana hati yang tergugah, sejenak saya menundukan kepala lalu memohon kepada sang pemberi ujian agar menitipkan angin ketabahan bagi segenap saudara di Alas.
Berbeda dengan kampung halaman saya, Alas berada jauh di sebelah barat Kabupaten Sumbawa. Wilayah yang juga banyak menyimpan objek wisata ini hanya berjarak sepelemparan batu dari pelabuhan Poto Tano. Dari Mataram, kita butuh waktu selama tak lebih dari 6 jam untuk sampai di tempat ini.
***
Atas nama Aliansi Mahasiswa Sumbawa Mataram, saya bersama beberapa sahabat mengunjungi Alas kabupaten Sumbawa. Kami berniat untuk mendistribusikan bantuan bagi para korban banjir di sana. Sebelumnya kami telah melakukan aksi penggalangan dana di Mataram. Aksi yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut itu akhirnya bermuara pada keberangkatan kami ke Alas beberapa waktu lalu.
Sesampai di sana, kami disambut baik oleh pihak kecamatan. Mereka sangat terbuka atas kedatangan kami sore itu. Ditemani camat dan kades setempat, kami bergegas mengunjungi beberapa desa yang mengalami kerusakan parah akibat banjir.
Hati saya mendadak basah melihat sekelebat pemandangan yang ada. Rumah yang sempat terseret arus sungai memang sudah diposisikan lagi seperti semula. Akan tetapi di mata saya, keadaan beberapa rumah sudah tak layak digunakan. Semoga pemerintah peka terhadap keadaan ini.
Sungai di Alas memang terlihat besar. Akan tetapi kedalamannya masih terlampau dangkal. Jika terjadi hujan selama dua hari saja, maka dapat dipastikan air akan kembali memenuhi sungai hingga ke pemukiman warga. Belum lagi di Sumbawa, fenoma Illegal Logging sudah membudaya. Pemerintah seharusnya hadir melalui kebijakan yang memihak kepada masyarakat bantaran sungai dengan cara melakukan pengerukan untuk mengantisipasi bencana serupa terjadi ditahun-tahun berikutnya.
Bakti Sosial |
"Tiap tahun terjadi banjir. Hanya saja intensitasnya berbeda-beda. Banjir kali ini merupakan banjir terbesar yang pernah menimpa warga kami." Kata camat setempat. Saya tidak terlalu terkejut mendengar pemaparan beliau. Pasalanya, itulah duka yang harus diderita warga ketika pemerintah belum mampu hadir sebagai problem solving untuk sekelumit permasalahan.
Perjalanan ke Alas adalah perjalanan yang menggetarkan hati. Di sana, saya banyak menemukan berlian yang dibungkus dengan berbagai ketulusan. Sejumput kekaguman lahir dari batin yang berkaca-kaca. Saya melihat teman-teman begitu antusias dalam membantu para korban banjir yang sempat menebar teror.
Perjalan ini sekaligus membuka indera saya untuk tidak mudah percaya kepada mereka yang selalu mengumbar sejumlah teori di ranah maya. Perjalanan ini menunjukan betapa jauhnya teks-teks yang kerap mereka jabarkan, dengan praktik sosial yang mereka lakukan. Dalam berbagai teks akademik, mahasiswa adalah orang-orang yang mengemban amanah sebagai Agen of Control dan Agent of Change, kemudian mengejawantahkannya melalui ragam aksi sosial yang membawa keberkahan bagi masyarakat. Namun melalui perjalanan ini, saya jadi tau betapa kata idealisme kerap kali dijadikan alat untuk menutupi diri agar tidak terlihat malas dan terkesan apatis.
Mereka yang hatinya tergerak atas duka yang menyelimuti Alas tak terhimpun dalam jumlah banyak. Mereka juga tak pernah melabeli diri sebagai aktivis. Dalam sebuah diskusi, mereka terlihat biasa-biasa saja. Mereka adalah orang-orang yang tidak terlalu mengedapankan teori ketimbang aksi nyata. Namun ketika kabar duka mulai berhembus, mereka malah berbondong-bondong membentuk barisan penggalangan. Mereka hadir lalu menawarkan sebuah bahasa solutif yang meringankan.
Saya mengamini apa yang dikatakan Ridwan Kamil. Walikota Bandung itu mengutarakan bahwa "Negeri ini butuh pemuda pencari solusi, bukan pemuda pemaki-maki." Negeri ini tak butuh mereka yang banyak wara wiri di media sosial. Berlomba-lomba menulis status dengan kosa kata yang membingungkan pembacanya. Sungguh miris. Ketimbang menjadi embun yang menjekukkan dahaga, mereka lebih nyaman mengkritik segala bentuk kebijakan pemerintah tanpa menawarkan solusi sedikitpun.
Di Alas, saya menyerap berbagai kearifan dari para sahabat relawan. Apa yang mereka lakukan serupa oase ditengah hiruk pikuk mahasiswa kita yang meradang. Mereka menunjukan betapa jauh lebih pentingnya membumikan ilmu pengetahuan kedalam ladang kehidupan ketimbang menyesaki ruang publik dengan berbagai teori dan wejangan.
Mataram, 20 Desember 2016
mantap pak ketua..sungguh menggetarkan jiwa 😊🙏
BalasHapusMakasih bro :D
Hapusturut berduka cita dan ikut mengapresiasi dengan kegiatan bakti sosial nya pak
BalasHapusTerimakasih mas :)
HapusLuar biasa gerakannya semoga bisa menginspirasi semua orang untut turut terjun pada kegiatan bakti sosialnya :)
BalasHapusAmin semoga bisa menginspirasi yang lain
HapusPemuda semacam inilah, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Lebih banyak pemuda yang memaki keadaan tanpa mau perduli dengan lingkungan. ( mungkin termasuk aku );.
BalasHapusSemoga tetap diberi semangat dan kesehatan.
Kalau blogger itu pahlawan literasi mas :D
HapusUngakapan Pak Ridwan Kamil benar benar bisa jadi pengingat yang baik, khusunya buat para pemuda yang suka maki2
BalasHapusIya mba. Ungkapannya dahsyat :)
Hapuswah wah, asal Sumbawa ya?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus