![]() |
Gambar: google |
Lagi ramai soal "childfree" atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?
Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.
Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.
Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-kota besar, anak yang harusnya masih harus mendapatkan pendidikan formal malah memenuhi jalanan. Karena keadaan tertentu, anak-anak terpaksa melakukan pekerjaan yang tidak selayaknya. Inilah yang saya maksudkan tadi tentang betapa pentingnya kesadaran memiliki anak.
Tapi, saya jelas tidak sepakat jika kampanye childfree ini ditujukan untuk membuat frame seolah-olah memiliki anak itu adalah hal yang negatif. Saya meyakini bahwa dalam setiap urusan, selalu terkandung dua hal yakni sisi nikmat dan tidak nikmat.
Orang yang memilih tidak memiliki anak tidak bisa merasakan bagian ternikmat dari proses memiliki, mengurusi, mendidik, membesarkan, hingga kelak melihat anak-anak ini tumbuh dewasa. Ia hanya akan bisa dinikmati oleh mereka yang ingin memiliki anak.
Sederhananya, saya hanya ingin menekankan bahwa sebelum memilih punya anak atau tidak, dahuluilah dengan kesadaran serta pemahaman tentang konsekuensi memilikinya. Jangan sampai kita memiliki anak bukan karena kita menginginkannya tapi karena hal-hal lain.
Punya anak itu tidak gampang. Ia butuh persiapan baik secara finansial atau non finansial. Pemahaman ini hanya berlaku pada mereka yang ingin melihat anaknya tumbuh secara layak. Layak dalam artian hak-hak dasar anak itu terpenuhi. Mulai dari ia lahir hingga kelak dewasa.
Yang ingin punya anak tetapi tidak segera sadar dengan konsekuensi itu, bisa dipikirkan lagi. Jangan karena kecerobohan, kita lalu seenaknya mengatakan anak itu adalah titipan Tuhan.
Hey, gue nitip sendal aja ke orang yang tepat.
Komentar
Posting Komentar