
Yang menjadi isu terhangat adalah pemilihan calon gubernur di jakarta, karena sangat sensitif bahkan rawan konflik. Tak perlu panjang lebar dijelaskan, karena tentu para pembaca sudah tau siapa yang saya maksudkan. Setelah saya melihat dari beberapa kasus perdebatan baik di facebook, twitter dan di banyak media sosial lain, ternyata yang menjadi titik pangkal perdebatan mereka adalah menyoal agama. Saya berfikir tak mau ikut campur, sebab berbicara agama, adalah urusan masing-masing person dengan Penciptanya.
Saya memang sering mengamati teman-teman yang berdebat prihal bakal calon, saya suka sekali melihat kelincahan mereka dalam melengolah argumen dengan tujuan menyerang lawan dan bertahan. Sesekali saya pun suka dibuat kesal dengan beberapa celetukan mereka "Dia memang non-muslim tapi dia tidak korupsi. Bandingkan dengan si fulan yang katanya alim, tapi terjerat korupsi". Ada juga yang berceloteh "Meskipun dia non-muslim, tapi dia juga berqurban saat idul adha, dia memberangkatkan takmir masjid ke Mekkah, dia juga membayar zakat. Sedangkan kebanyakan muslim justru kebanyakan pelit sesama saudaranya".
Meskipun tidak terlahir sebagai muslim yang taat, tapi terkadang saya juga merasa tersinggung dengan celetukan yang seperti itu, masalahnya bukan karena dia memilih siapa, tapi sebuah perbandingan yang mereka buat menurut saya keliru dan tidak mengerti persoalan sama sekali.
Perbandingan seperti ini ibarat membandingkan volume nyamuk dan gajah, agar masyarakat mau mengakui bahwa nyamuk lebih besar dari gajah. Mungkin saja nyamuk lebih mematikan ketimbang gajah. Gigitan nyamuk bisa menyebabkan penyakit malaria, demam berdarah, atau chikungunya. Namun bukan berarti nyamuk menjadi lebih besar dari gajah, hanya karena dia lebih berbahaya. Bukan! nyamuk tetaplah lebih kecil.
Begitu pula manusia. Mungkin saja seorang muslim telah melakukan tindak Korupsi atau penipuan. Namun bukan berarti ia lebih zalim ketimbang yang lain. Seakan-akan kesalahan satu orang ditimpakan kepada komunitasnya. Dalam satu kelompok, komunitas pastilah ada salah seorang yang bertindak melenceng atau menjadi kambing hitam, tapi bukan berarti keseluruhan dari komunitas tersebut telah melakukan kesalahan, inilah yang harus sama-sama dipahami agar nanti kita tidak salah dalam memilih pemimpin.
Mataram, 20 September 2016
Di sinilah sesungguhnya kita diuji untuk bisa memakai akal sehat dalam menanggapi sesuatu, termasuk dalam hal ini memilih sesuatu; begitu ya, Mas Imron. Terima kasih banyak atas refleksinya, Mas. Salam hangat dari Jogja.
BalasHapusdi banten juga sedang menuju pilkada. bahkan menurut rumor paman dan keponakan ikut bersaing pada pilkada nanti
BalasHapusNah kalau masalah yang satu ini sepertinya masyarakat kang yang memiliki peran paling penting untuk menentukan siapa calon yang pantas untuk menjadi gubernur jakarta, namun kebanyakan sekarang mah masyarakat banyak yang diberi bonus oleh calon tersebut untuk memilih orang tersebut sehingga dalam hal ini tentu masyarakatlah yang harus menentukan jalannya sendiri dan paling utama adalah kejujuran. :)
BalasHapuskalo daengan urusan agama itu memang sulit mas 7:(
BalasHapusintinya jangan salah memilih saja, pilih lah dengan jujur .. :)
Mudah-mudahan pilkada ibu kota nanti berjalan fair dan damai....
BalasHapusZaman sekarang , kalo memilih pemimpin harus bener bener. Bahkan bukan zaman sekarang aja , udah dari dulu kali ya ? hemm .
BalasHapusBy the way , kalo udah ngomongin agama malah jadi melenceng kemana mana . Kita idup didunia udah ada kepercayaan masing masing dan udah didasari Bhinneka Tunggal Ika.Jadi , jalani dengan tertib dan rukun.