Langsung ke konten utama

Perkara Pinjam Meminjam DUIT

Perkara pinjam meminjam DUIT (sumber gambar: google)

Belakangan ini, saya cukup sering dimintain tolong soal duit. Oh iya, saya mesti disclaimer dulu. Tulisan ini tidak untuk mengindikasikan kesombongan, sok, angkuh, atau sejenisnya. Ini hanya pengalaman, dan akan saya ceritakan menurut perspektif pribadi. 

Kembali ke soal yang tadi. Entah kenapa, akhir-akhir ini banyak sekali yang menghubungi saya prihal pinjam meminjam duit. Lebih tepatnya, mereka yang menghubungi saya hendak meminjam sejumlah uang. Saya tak tau pula apa yang sebenarnya melatarbelakangi mereka. 

Padahal, dilihat dari banyak sisi, saya tak punya sesuatu yang spesial. Saya tak punya uang. Saya masih hidup pas pasan seperti kebanyakan orang. Kalau pun ada rejeki lebih, paling hanya cukup untuk nongkrong sama neng geulish di malam minggu. Singkatnya, saya masih jauh dari kesan mapan. 

Tapi faktanya memang begitu. Tiap hari ada saja yang minjam. Motif dan nominalnya juga beragam. Ada yang keluarganya sakit, dan butuh uang untuk segera berobat. Ada yang untuk melunasi hutang. Ada yang jatuh tempo pembayaran sesuatu dan akan berdampak buruk kalau tidak segera dilunasi. Ada juga yang tidak berniat meminjam, tapi meminta. Macam-macam alasannya. 

Dulu, kalau ada teman atau kenalan yang minjam uang, jarang sekali saya abaikan. Selama itu masih dalam batas kewajaran juga tentunya. Saya akan bantu dengan cara memberi dia sebanyak yang ia butuhkan atau setengahnya. Saya katakan, ini bantuan dari saya, tidak usah dikembalikan. 

Sekarang tidak lagi. Saya lebih selektif. Saya hanya akan memberi pinjaman kepada mereka yang benar-benar saya kenal atau saya sudah tau luar dalamnya. Kalaupun ada yang minta untuk sekadar membeli sesuatu, saya akan memberikannya hanya sekali. Setelah itu akan saya abaikan. 

Kenapa? Ada dua alasan yang paling mendasar. Pertama, saya trauma berurusan dengan orang perkara duit. Bisa dibilang saya kurang beruntung prihal minjami orang duit, sebab lebih banyak yang tidak mengembalikan. Lalu ujung-ujung nya menghancurkan tali pertemanan saya. 

Saya juga tidak tahan berdebat. Saya tidak nyaman kalau harus menghubungi seseorang terus menerus, demi meminta sesuatu yang pada kenyataannya adalah hak saya. Kedua, saya punya tanggungan yang setiap bulannya harus saya bayarkan. Jadi, saya mulai belajar mengatur keuangan. Saya mulai menerapkan manajemen sederhana. 

Sejauh pengalaman saya, urusan pinjam meminjam duit ini memang tidak kenal gender. Nggak laki nggak perempuan sama saja. Sama-sama suka tidak komit. Tidak semuanya memang, tapi kebanyakan begitu. Yang saya rasakan adalah sering banget ngilang setelah di kasi pinjaman. Dan, yang paling parah, ada yang setelah di kasi, saya malah di blok. 

Belum selesai sampai di situ, ada yang lebih aneh bin ajaib lagi. Isi fb nya hepi-hepi, nongkrong, makan, padahal dia masih punya hutang yang belum dibayarkan. Entah karena dia lupa, pura-pura lupa, atau memang tidak berniat sama sekali untuk mengembalikan. Entahlah. 

Sebenarnya saya juga sering berada di posisi yang sama, saya butuh uang dan harus meminjam ke teman. Tapi kalau saya belum bisa mengembalikan pada waktu yang telah disepakati, saya pasti berkabar ke teman tadi. Intinya, saya akan bertanggungjawab, apapun itu alasannya. Nah ini boro-boro ngembaliin, ngabari aja tidak. 

Kadang suka muncul perasaan serba salah. Saat di kasi, susah sekali buat ngembaliin. Udah kayak kasus PPKM, mingu depan minggu depan terus. Kalau ditagih marah-marah, padahal saat minjam segala tuhan di bawa-bawa. Giliran nggak di kasi, malah dikatain sombong, belagu, pelit. Halah, bilcit!

Kenapa bisa ada orang-orang seperti ini? Sebabnya mungkin juga bisa beragam. Ada yang memang tidak berfikir dan bertindak secara patut agar hidupnya berjalan normal. Kalau dipikir dengan nalar umum, sulit untuk percaya bahwa ada orang seperti itu. Tapi kenyataannya memang ada. 

Mereka tak mampu membedakan mana skala prioritas, mana tidak. Tak bisa bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Tak bisa menekan kemauan sesuai dengan pemasukan. Yang paling bikin geram, orang-orang seperti ini tak hanya berasal dari kaum tak terdidik, tapi juga lulusan perguruan tinggi yang mengenyam pendidikan formal. 

Sisi lainnya adalah soal gaya hidup. Maksudnya, bergaya tapi tidak sesuai dengan kemampuan. Ada banyak sekali orang di sekitar kita yang nampak hidup mewah dan mengesankan dirinya berada pada level tertentu, padahal kenyataannya tidak. Mereka yang hari-hari kita kenal susah, tapi di medsos gayanya selangit. 

Menghadapi orang-orang jenis ini memang tidak mudah. Kebanyak dari mereka cenderung bermuka tembok dan tebal kuping. Menyinggung mereka melalui medsos dengan harapan agar segera sadar dan mengembalikan pinjaman juga percuma.  

Solusinya adalah abaikan saat mereka pinjam duit. Atau kalau mau solusi yang lebih radikal; segera blok! Ini serius. Saya belajar di youtube dan pelan-pelan coba mempraktikkannya. Lumayan ampuh juga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k