Langsung ke konten utama

Kapan Nikah?

Entah kenapa, akhir akhir ini banyak sekali yang menanyakan prihal "kapan nikah" kepadaku. Mulai dari keluarga dekat, kerabat, seorang senior, teman kantor, sahabat karib, hingga teman-teman sekolah di satu group whatsapp. 

Aku jadi berpikir sejak kapan pertanyaan "kapan nikah" menjadi lebih penting dibandingkan "say hello" atau sekadar bertukar kabar. Jika hidup adalah serangkaian pertanyaan yang mesti dijawab, maka pertanyaan "kapan nikah" ini adalah pertanyaan yang sesaat bisa membuatku menarik nafas panjang dan terdiam. 

Dulu, saat aku masih kuliah, aku sering ditanya "kapan wisuda" setiap kali pulang kampung atau berlibur. Bagiku, pertanyaan itu normal saja, sebab dulu aku kuliah dalam rentang waktu yang agak lama jika dibanding mahasiswa lain pada umumnya. 

Setelah aku menyelesaikan perkuliahan dan bekerja pada satu instansi pemerintah, pertanyaan lain kembali datang. Namun yang satu ini agak susah dijawab. Maksudku bukan susah, tapi lebih kepada tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan orang lain terutama orang-orang terdekatku. 

Yang lebih parah, pertanyaan pribadi semacam itu kadang dilontarkan seseorang di ruang-ruang publik, di muka umum. Tanpa mereka menyadari betapa tidak menyenangkan menjadi objek yang selalu ditanyakan. 

Andaikan menikah itu seperti memilih menu makan di satu restoran cepat saji, mungkin aku langsung tersenyum bahagia. Andaikan menikah itu seperti rengekan manja seorang wanita yang meminta ditemani menonton film terbaru di bioskop, mungkin aku sudah lama memenuhinya. 

Sebab urusan memilih menu makan, juga menonton akulah jagonya. Aku sudah cukup teruji untuk urusan yang satu itu.  Aku juga sanggup menemani wanita belanja hingga berjam-jam keliling. Aku siap mendengar wanita curhat sepanjang malam meskipun isi curhatannya sama sekali tidak penting buatku.

Namun menikah bukanlah perkara sederhana. Bagiku, menikah adalah tentang menurunkan ego, menaikkan tanggungjawab. Menikah itu soal kesediaan untuk mengalah, memaafkan, memperbaiki kesalahan. Dan yang paling penting adalah tentang ketahanan untuk mempertahankan.

Satu hal lagi yang lebih utama daripada yang disebutkan di atas adalah punya pasangan yang sefrekuensi dan bisa di ajak diskusi. Barangkali banyak yang bilang bahwa hal yang demikian itu agak berlebihan, tetapi apa salahnya berharap sambil mempersiapkan diri hingga waktu bahagia itu tiba. 

Aku sudah banyak menyaksikan pahit manis hubungan seseorang setelah menikah. Beberapa teman yang ku kenal punya cerita sendiri soal rumah tangga mereka. Ada yang harmonis, ada pula yang serupa ombak pasang surut. Bahkan, ada yang memilih bercerai meski usia pernikahannya masih terbilang seumur jagung. 

Setiap orang berhak mendambakan hubungan pernikahan yang ideal, meskipun kita tahu bahwa pada hakiktnya tak ada hubungan yang benar-benar luput dari kerikil-kerikil masalah di dalamnya. Untuk itulah kita memerlukan orang yang tepat untuk menemani kita dalam ibadah panjang bernama pernikahan. 

Pertanyaan "kapan nikah" ini seolah-olah mengabaikan itu semua. Dipikir setiap orang pada usia tertentu dan telah memiliki pekerjaan, sudah layak, bahkan kalau perlu sesegera mungkin mengayuh biduk rumah tangga. 

Lagian, jodoh itu kan perkara takdir. Sama halnya seperti kematian. Sampai saat ini saya belum tau kapan dan dengan siapa saya akan menikah nanti. Begitu pula, saya juga belum tau kapan dan dalam keadaan seperti apa saya akan meninggal kelak. Entah besok atau lusa. Entahlah! 

Namun yang pasti, yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah berusaha, berdoa, sembari mengharapkan skenario terbaik dari pemilik ketentuan. Untuk itu, buat kalian yang sering sekali bertanya "kapan nikah" kepada siapapun, tolong berhentilah. Kalau tak bisa berhenti, minimal tau tempat dan situasi. 

Berhentilah menanyakan hal-hal pribadi semacam itu. Sebab kita tidak pernah tau, perjuangan apa yang tengah mereka lakukan saat ini, usaha apa yang tengah mereka persiapkan, serta tekanan apa yang mereka alami saat mendengar pertanyaan seperti itu. 

Sekali lagi, kitak tidak pernah tau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k