Langsung ke konten utama

Warisan Terindah

Dokpri


Setelah beberapa hari di Sumbawa, pagi tadi saya tiba di Mataram. Saya hendak membersihkan koleksi buku-buku saya yang sejak beberapa tahun belakangan tak pernah terurus.


Jika hewan menandai daerah kekuasaannya dengan kencing atau jejak, maka manusia selalu meninggalkan sesuatu yang amat disukainya. Saya cukup banyak meninggalkan buku saat berkuliah di Mataram. Setelah bekerja di Jakarta, buku-buku itu masih tersusun rapi di kamar kosan yang pernah saya tinggali dulu. 


Koleksinya beragam. Mulai dari biografi tokoh, hingga bacaan-bacaan fiksi. Tidak semua buku itu juga saya beli. Beberapa diantaranya saya dapatkan dari hadiah menulis, serta kiriman dari beberapa sahabat dari luar kota dan tokoh nasional. Ada juga yang dipinjam dan sampai sekarang belum dikembalikan.


Saya masih ingat, hadiah pertama saya adalah buku mitologi hindu berjudul Siwa: Ksatria Wangsa Surya, karangan Amish Tripathi yang diterbitkan ulang oleh Javanica dalam versi bahasa Indonesia. Buku itu adalah buku mitologi terbaik yang pernah saya baca. 


Saya juga pernah dikirimi beberapa buku oleh Politisi Gerindra, Fadli Dzon. Buku-buku itu antara lain adalah Politik Huru Hara Mei 98, 100 Janji Jokowi-JK, Dreams and Keep, Air Mata Buaya, Ekonomi Ala Bung Hatta dan lain-lain. Kalau tak salah, ada sekitar 12 buku yang juga merupakan koleksi dari perpustakaan pribadinya yakni Fadli Dzon Library. 


Hari ini, saya membersihkan buku-buku itu, menimangnya satu persatu, membuka lembar-lembar yang pernah saya stabilo demi menandai bagian pavorit. Pada buku-buku yang telah dihinggapi debu itu, saya mengenang banyak hal. 


Pada setiap buku, ada begitu banyak kisah saat membelinya. Saat memandang buku Tan, karya Hendri Teja, saya mengenang saat harus meminjam uang dari pacar saya yang saat itu bekerja sebagai guru les privat bahasa inggris untuk membelinya. 


Setelah menuntaskan seri pertama, saya menghubungi pengarangnya melalui media sosial demi menanyakan kapan seri keduanya terbit. Buku itu juga menjadi sumber rujukan saat berdiskusi dengan teman-teman SMI yang fokus mendalami pemikiran Tan Malaka.


Saat menggenggam buku Animal Farm milik George Orwell, saya terkenang pergolakan politik kekuasaan serta sistem pemerintahan totaliter yang dibangun Soviet. Orwell menganalogikannya dengan kisah sekelompok hewan peternakan yang melakukan pemberontakan pada ras manusia demi mencapai kesetaraan hidup dan kemerdekaan.


Namun, kesetaraan yang seharusnya menjadi cita-cita bersama para binatang itu tak berlansung lama. Bangsa babi yang awalnya dipercayakan menjadi pemimpin peternakan karena lebih unggul dalam hal kapasitas dibanding yang lain, ternyata berhianat.


Atas nama bekerja keras dan mengelola peternakan, para babi diberikan hak istimewa. Mereka mendapatkan makanan yang lebih enak dan banyak, tempat yang lebih layak, dan beberapa hal lain yang menguntungkan bangsa mereka sendiri. Animal Farm adalah satire yang dikemas dengan apik. 


Dahulu, saya selalu punya obsesi untuk memenuhi kamar dengan buku-buku bagus. Saya ingin membuat perpustakaan mini yang berisi ragam genre buku. Tapi apalah daya, niat itu tak pernan benar-benar kesampaian. Saya hanya mengoleksi buku sekadarnya sesuai kebutuhan. 


Hari ini, saya membersihkan buku-buku saya di Mataram. Saya hendak memindahkannya ke Sumbawa. Entah akan saya donasikan untuk komunitas-komunitas literasi di sana, atau mewujudkan keinginan yang pernah terpendam untuk membuat semacam perpustakaan mini di kampung halaman. 


Entahlah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k