![]() |
Peter Carey (Gambar: Tempo.com) |
Hampir satu jam saya menonton live wawancara tim Historia bersama sejarawan Peter Carey di Instagram.
Senang sekali rasanya mendengar penjelasan alumni Oxford itu tentang pangeran Diponegoro. Kalau tidak ada dia, mungkin kita hanya sebatas mengenal pangeran Diponegoro melalui buku-buku sejarah umum. Tak benar-benar tahu nilai yang dia perjuangkan, serta bagaimana perlawanannya sempat merepotkan penjajah, hingga membuat Belanda hampir bangkrut.
Demi menjelaskan satu gambaran utuh tentang sosok yang ditelitinya itu, Carey bercerita tentang perjuangannya mengumpulkan banyak arsip. Ia juga rela bangun setiap pagi untuk belajar bahasa Indonesia dan Belanda, juga berpayah-payah mempelajari sastra Jawa agar lebih mudah memahami dokumen.
Suatu waktu Carey sempat mengusulkan Babad Diponegoro kepada UNESCO untuk dijadikan warisan dunia. Sayang, usahanya itu harus kandas setelah beberapa dokumen kelengkapan tak bisa dipenuhi.
Dalam sesi wawancara itu, Carey menjelaskan dengan detail kehidupan pangeran Diponegoro. Basis argumennya dibangun melalui penelitian selama bertahun-tahun. Tak lupa ia juga memberi klarifikasi terkait komentarnya yang sempat menghebohkan jagat maya perihal "Diponegoro juga minum wine".
Saya senang saat Carey menjelaskan tentang keris pangeran Diponegoro yang dikembalikan Belanda beberapa waktu lalu. Menurut Carey, memang benar keris itu adalah milik Diponegoro, tetapi bukanlah keris pusaka. Keris itu adalah hadiah pemberian kepada salah satu pejabat Belanda dulu atas kepercayaannya. Sedang sejumlah benda pusaka milik Diponegoro sendiri ia wariskan kepada anak-anaknya.
Carey juga menolak soal isu bantuan dari bala tentara Ottoman terhadap perjuangan Dipenogoro di Pulau Jawa. Katanya itu tidak benar. Tak ada dokumen kuat yang bisa dijadikan pembuktian.
Kita boleh tak sepakat dengan Carey. Tetapi kita harus terlebih dahulu mendapatkan informasi tentang sosok ini dan apa saja yang dilakukan semasa hidupnya. Jika tak punya informasi, maka telusurilah banyak sumber sebagaimana yang dilakukan Carey. Sebab apa yang kita sebut sejarah, selalu berkaitan erat dengan dinamika masyarakat saat itu.
Barangkali dengan cara itulah kita bisa membayangkan apa yang telah dilakukan Cindy Adams demi memahami sosok Soekarno, Rudolf Mrazek dengan Sjahrir, Greg Barton dengan Gus Dur, serta Harry A Poeze dengan sosok Tan Malaka.
Berkat para peneliti dan sejarawan, seseorang bisa diabadikan sehingga generasi mendatang bisa menemui gambaran yang utuh tentang masa silam.