![]() |
Darurat Corona (gambar: indozone) |
Pada tahun 1346, gelombang serangan penyakit pes yang dijuluki kematian hitam atau 'The Black Death' sudah mencapai pelabuhan Kota Tana, di tepi Laut Hitam. Sama seperti Corona, wabah itu juga berasal dari China dan ditularkan oleh para saudagar yang menyusuri jalur Sutra sebagai urat nadi perdagangan terpenting di kawasan Trans-Asia.
Wabah yang disebarkan oleh kutu yang hidup di tubuh tikus itu lalu dengan cepat merambah seluruh kawasan Mediterania. Selanjutnya menerjang kota Konstantinopel di Turki, Prancis, Afrika Utara, Hingga Italia.
Fenomena tentang wabah penyakit mematikan itu tergambar jelas melalui catatan penulis Italia, Giovanni Boccaccio dalam Buku Why Nation Fails, karangan Daron Acemoglu dan James A. Robinson.
"Ketika wabah itu datang dengan cepatnya, segala akal budi dan kepandaian manusia tak berdaya menghadapinya". Kata Giovanni dalam catatannya.
Wabah pes yang mematikan memang telah mengubah wajah dunia dalam waktu singkat. Di Inggris, upaya gigih kerajaan untuk membendung arus perubahan institusi ekonomi dan kerasnya tuntutan kenaikan upah oleh pekerja yang dipicu oleh serangan wabah pes kandas. Wabah ini sekaligus memicu revolusi petani yang dipimpin Wat Tyler tahun 1381.
Wabah itu menghancurkan sebagian besar kawasan di dunia. Dengan jumlah korban yang hampir sama di tiap-tiap daerah yang diserangnya. Dampak demografis yang dialami Inggris karena kasus itu sama parahnya dengan yang dialami negara-negara lain di Eropa barat. Kekuatan sosial ekonomi yang muncul setelah wabah itu mereda juga hampir sama. Tenaga kerja menjadi langka, dan mereka yang lolos dari maut, bangkit menuntut kebebasan.
Jika mengacu pada teori ekonomi makro, maka Covid-19 yang tengah melanda dunia saat ini, merupakan salah satu episode sejarah yang sangat menentukan. Episode ini diwarnai oleh berbagai peristiwa atau kombinasi dari sejumlah faktor yang berpotensi merontokkan ekuilibrium politik-ekonomi dari suatu bangsa.
Di Tiongkok, seperti dikutip dari laporan LA Times, kedai kopi Starbucks di negara itu banyak yang tutup. Jumlahnya lebih dari 4 ribu toko. Ikea juga tak beroperasi di 30 outlet-nya di Cina. Gerai makanan cepat saji McDonald menutup ratusan restorannya di provinsi tempat virus itu pertama kali ditemukan, Hubei. Jumlah pengunjung tempat berjudi di Macau pada Januari lalu turun 80% dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor pariwisata Tiongkok langsung melambat di awal tahun.
Di Italia, sebanyak 60 juta perjalanan ke luar negeri sudah dibatasi. Pemerintah juga melarang acara publik, menutup sekolah, bioskop, museum, dan pusat kebugaran. Bahkan, Italia menetapkan batasan jam buka untuk restoran, bar, dan toko.
Di Arab Saudi, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan penangguhan umrah sampai waktu yang belum ditentukan. Dikutip dari Channel News Asia, tak hanya pelaksanaan umrah di Mekkah, jamaah juga dilarang berkunjung ke Masjid Nabawi di Madinah.
Sejak WHO menetapkan status gawat darurat global untuk wabah virus corona, dunia mulai siaga. Bukan hanya soal penyebaran penyakitnya tapi juga dampaknya terhadap perekonomian dunia. IMF memprediksikan bahwa dalam jangka pendek akan terjadi perlambatan ekonomi global.
Di Indonesia sendiri, kepemimpinan Jokowi tengah diuji. Ia menerapkan kebijakan social distancing atau mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi sosial seiring dengan mewabahnya Virus Corona. Sekolah-sekolah diliburkan, orang-orang dipaksa bekerja di rumah atau home office, pusat-pusat keramaian menjadi tak seperti biasanya.
Menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto, hingga saat ini ada sebanyak 227 kasus Covid-19 di Indonesia. Angka tersebut tentu bisa berpotensi lebih tinggi jika penyebaran virus ini tidak ditangani dengan baik. Jika situasi ini terus berlanjut, maka tak bisa dibayangkan betapa besar implikasi ekonomi yang terjadi.
Episode bersejarah itu ibarat sebilah pedang bermata dua yang bisa mengubah nasib suatu bangsa. Pada suatu sisi, dia bisa merangsang tumbuhnya institusi sosial yang lebih bersifat inklusif seperti yang terjadi di Inggris dimana keadilan atas pasar tercipta, kebebasan warga negara dalam berekspresi dan memilih pekerjaan, hingga persaingan yang adil.
Di sisi lain dia juga bisa semakin memperkokoh hegemoni institusi ekstraktif yang mengedepankan upaya memeras, mengeruk,dan menghisap kekayaan satu lapisan demi memperkaya lapisan lain sebagaimana dicontohkan oleh gelombang penindasan kedua yang terjadi di Eropa Timur pasca wabah pes.
Usai Covid-19, entah Indonesia akan berada di titik mana.