![]() |
Plaza Senayan |
Saya selalu tak habis pikir, mengapa ada saja yang rela antri demi membeli produk dengan harga selangit. Mengapa ada saja yang rela merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah demi menuntaskan syahwat berbelanja?
Barusan, saya berkunjung ke Plaza Senayan. Entah kenapa tiap kali ke tempat ini, saya selalu takjub dan terkesima. Saya kagum saat menyaksikan parade kemewahan di depan mata. Ada banyak sekali pikiran yang mengganjal saat menyaksikan kebiasaan orang-orang kota.
Mal ini memang tidak seberapa besar. Desain interiornya juga biasa saja dengan gaya gothik ala Eropa barat. Namun, saat melihat harga barang-barang di situ, kita akan terkejut. Semuanya membumbung tinggi ke langit. Semuanya berkelas. Saya barusan melihat sepatu seharga puluhan jutaan rupiah. Baju kaos yang harganya jutaan. Hah???
Tampaknya Mal ini memang digandrungi para kalangan atas. Saya melihat penampilan para pengunjungnya yang serupa artis. Semuanya mencolok mata. Semuanya cantik-cantik dengan busana mahal dan berkelas. Banyak gadis yang menampakkan kakinya yang putih, mulus, serta wajah sempurna bagai dipahat.
Sepertinya pengunjung Mal ini adalah para pesohor, selebriti, serta orang-orang kaya negeri ini yang menikmati kemewahan. Mereka serupa dewa-dewi yang hidup di kayangan dan sesekali turun ke bumi dengan mengendarai Mercedes. Mereka adalah lapis beruntung dari sebegitu banyaknya rakyat negeri ini yang harus memeras keringat demi sesuap nasi.
Jutaan rakyat Indonesia harus mengais rezeki dengan bersimbah peluh, mengencangkan ikat pinggang dan meratapi hari. Sementara mereka yang berkunjung di plaza ini adalah mereka yang menjalani hidup serba mewah dan penuh keberlimpahan. Mereka adalah para jutawan.
Mungkin inilah yang disebut banyak orang sebagai gaya hidup "glamor". Mereka yang berbelanja di situ adalah mereka yang sudah terbiasa dengan barang-barang branded dan serba mahal. Mereka mengerti mode, makannya tak segan merogoh kocek lebih demi mendapatkannya.
Entahlah. Saya hanya bisa melihat. Fenomena seperti ini memang tak mungkin kita temukan di kampung. Makanya saat pertama kali ke tempat ini, saya hanya bisa mengelus dada sembari mengubur dalam-dalam hasrat untuk berbelanja.
Menjadi rakyat kecil di negeri ini adalah menjadi bagian dari mereka yang hanya bisa menyaksikan sesuatu dari pinggiran. Saya ingat cerita sahabat di Jerman, bahwa di negeri itu, gaji antara seorang pekerja keras dan bos tidak seperti bumi dan langit. Makanya, kemewahan bisa menjadi milik semua orang. Semua berhak menikmati fasilitas dan kesejahteraan.
Tetapi di negeri ini, bekerja keras bukanlah satu-satunya jawaban untuk sejahtera. Banyak tukang ojek dan pemulung yang bekerja keras, membanting tulang, namun kehidupannya begitu-begitu saja. Banyak tukang becak dan pedagang asongan yang tiap hari harus berjibaku di jalan, tapi tetap saja hidupnya tak berubah.
Di negeri ini, anda mesti melihat dulu seberapa bagus garis tangan anda, seberapa kaya orang tua anda, serta seberapa pandai anda menjaga relasi dengan banyak pihak. Jika semuanya ada pada diri anda, maka boleh jadi anda termasuk orang-orang yang tiap hari mondar-mandir di Plaza Senayan.