Langsung ke konten utama

Mengenang Soe Hok Gie di Taman Prasasti

Di pusara Soe Hok Gie 

"No body knows the troubles i see no body sorrow"

Demikianlah penggalan kalimat yang menghiasi pusara Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat. Kesedihan adalah buah dari penghayatan. Gie menghayati negeri ini, membangkitkan cinta yang lalu berujung sedih. Di saat semua orang bergembira merayakan kemerdekaan, pemuda yang amat senang mendaki gunung itu tetap sedih melihat ketertindasan.

Di pemakaman Keerkhoof Laan, atau yang kerap disebut Kebun Jahe Kober, saya mengenang banyak hal dari seorang Soe Hok Gie. Ia adalah martir yang bergerak sendirian dan tak mau terseret arus besar. Ia menulis banyak catatan yang menohok rezim. Kalimatnya setajam pedang. Salah satu yang paling membekas adalah "Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan."

Awalnya, makam Kebon Jahe Kober ini adalah Gereja Belanda Baru (sekarang telah dijadikan tempat Museum Wayang). Kemudian, karena masa tersebut jumlah angka kematian Batavia meningkat drastis, Belanda akhirnya membongkar gereja dan menjadikannya tempat pemakaman. Dulunya, tempat pemakaman ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda.

Hari ini, saya melihat pusara itu. Di atasnya terdapat malaikat kecil bersayap yang tengah khusyuk berdoa. Mungkin saja itu merupakan personifikasi dari sosok Gie di alam sana. Barangkali ia tak henti-henti berdoa agar apa yang pernah ia cita-citakan bagi bangsa ini bisa terwujud kelak di kemudian hari. Entahlah.

Jasad Gie sudah dikremasi. Tulang belulangnya telah lama raib. Para keluarga dan sahabatnya telah menyebarkan debu dan belulang itu ke Puncak Semeru, di tengah-tengah hamparan edelweiss, di tengah-tengah kabut putih Lembah Mandalawangi. Banyak orang percaya bahwa Semeru adalah puncak tertinggi, tempat bersemayam para dewa.

Hari ini, saya sengaja datang ke tempat ini yang jaraknya tak seberapa jauh dari tempat tinggal saya di Jakarta. Tempat ini kembali mengingatkan saya pada sosok muda yang hidup tak seberapa lama, tapi didedikasikan untuk melihat banyak senyum serta sejumput perubahan bagi bangsa yang ia cintai. Di pusara ini, saya merasa amat bersalah. Alih-alih bisa meneruskan perjuangan Gie, saya malah menjalani kehidupan seperti seorang mapan yang hanya bisa berleha-leha.

Saya mengamini kalimat Gie bahwa, kita memang tak pantas mati di tempat tidur. Kita adalah anak muda yang gemar mengarungi samudera petualangan dan dibakar api semangat yang menyala-nyala. Kita adalah anak muda yang menghabiskan malam dengan membaca buku, lalu berpanas-panasan di siang hari demi sebuah tuntutan.

Namun, seberapa jauhkah kita mempertahankan nyala api semangat itu? Apakah kelak kita pun akan menjelma menjadi borjuis baru yang hanya berkarib dengan bir di malam hari dan di siang hari berdansa dengan gadis-gadis cantik lalu terlelap sambil berpelukan? Apakah kelak kita pun akan menjadi para kapitalis baru yang akan memeras keringat bangsa sendiri demi pundi-pundi kekayaan pribadi?

Soe Hok Gie telah memilih jalan sunyi. Kesendirian memang harga yang pantas untuk menegakkan sebuah kebenaran. Beberapa tahun lalu, saya membaca catatannya dengan gairah meluap-luap. Saya membaca kalimat-kalimatnya yang setajam pedang, kalimat yang hingga kini tersimpan abadi bagi anak-anak muda yang gelisah melihat zaman.

Gie terlahir sebagai anak kandung zaman yang mencintai negeri ini pada takaran yang melebihi nasionalisme. Warisan terbesarnya adalah ide. Ia membuktikan bahwa ide tak pernah mati. Ia akan selalu mengalir dan menemukan kaki-kaki untuk terus bergerak. Soe Hok Gie telah menuliskan semua kegelisahan itu dalam baris-baris kalimat.

Tugasnya telah selesai.

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k