Langsung ke konten utama

Harus Lebih Banyak Bersabar di Jakarta

Poto diambil dari balkon apartement

Di kota ini, hampir tak ada bedanya siang dan malam. Semua orang selalu bergerak. Di sini, ribuan manusia berseliweran setiap harinya. Ribuan manusia itu bersaing demi memperebutkan sumber daya yang jumlahnya sangat terbatas. Jakarta adalah kota yang amat sesak. Tiap hari orang-orang berjejal memenuhi jalan.

Begitu banyak orang dari berbagai penjuru membanjiri kota ini. Mereka saling sikut demi menyambung hidup. Di sini, ada kompetisi yang sedemikian kejam dan saling menghabisi. Mereka yang lemah akan digilas dan terpinggirkan. Yang kuat tetap langgeng di kursi kuasa. Sejak dulu, tabiat kota ini memang kejam.

Di abad ke-17, Batavia adalah arena dimana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa.

Kini, setelah sekian abad berlalu, tabiat kota ini seakan tak pernah berubah. Dalam Buku Stormy with a Chance of Fried Rice yang ditulis Pat Walsh, ada banyak kisah tentang mereka yang terpinggirkan. Ada kisah tentang karyawan di sebuah kafe, pengemis yang duduk di dekat jembatan penyeberangan, seorang pengemudi bajaj, sopir taksi, pembantu, hingga penjual jamu.

Pat menggambarkan rekaman Jakarta yang tak banyak diketahui. Ia membantu kita melihat sisi lain Jakarta, sisi yang tak kita temukan dalam berbagai sinetron atau brosur pemerintah, namun menjelaskan dengan jujur tentang wajah kota berpenduduk jutaan jiwa ini.

Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, saya melihat banyak kepingan realitas. Kota ini serupa himpunan rumah-rumah yang warganya tak selalu berinteraksi. Orang-orang di tempat ini selalu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Rasanya tak ada yang memperdulikan orang lain. Dalam istilah keren, tak ada yang kepo.

Saya heran, mengapa begitu banyak orang diluar sana ingin berlomba-lomba tinggal di kota ini. Mereka pikir Jakarta adalah rimba yang menyediakan segalanya. Banyak yang iri terhadap warga Jakarta yang dipenuhi fasilitas dari pemerintah. Padahal, anggapan itu tak selalu benar. Tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya, warga Jakarta adalah mereka yang punya daya tahan luar biasa.

Kata peneliti Jepang Hisanori Sato, warga Jakarta adalah warga paling hebat sedunia. Mereka tak pernah protes terbuka atas kemacetan dan ketidaknyamanan pelayanan publik di Jakarta. Mereka juga punya daya tahan luar biasa karena meskipun didera ketidaknyamanan, mereka tetap melanjutkan kehidupan sebagaimana biasa.

Saya pikir Sato ada benarnya. Sebagai warga baru di Jakarta, saya bisa merasakan ketidaknyamanan. Di beberapa negara, warga akan mudah protes ketika ada pelayanan publik yang tidak memuaskan. Mereka bisa membuat petisi, mengajukan protes, atau menggalang opini lewat media massa. Namun di Jakarta, tak banyak warga yang melakukan itu.

Saya memang harus belajar banyak pada warga biasa Jakarta yang sedemikian tahan dengan berbagai ketidaknyamanan. Naluri protes yang sering tumbuh dalam diri mesti segera dibuang jauh-jauh. Saatnya meluaskan hati, menerima kenyataan bahwa Jakarta bukanlah kota yang nyaman.

Saatnya menerima kenyataan bahwa macet, banjir, serta polusi udara adalah sesuatu yang amat biasa. Saatnya menerima kenyataan bahwa hidup di Jakarta, adalah hidup yang serba bergegas. Dalam istilah banyak orang, telat sedikit kita akan ketinggalan kereta. Di titik itu, saya mesti bahagia dengan semua ketidakberesan. Hikkkzzzz.

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k