Langsung ke konten utama

Usai menonton Film Terminator: Dark Fate

(Poto: Kerry Brown/Paramount Picture)

Film Terminator: Dark Fate mungkin tidak sepopuler film Joker yang membuat banyak orang rela mengantri di bioskop demi berebut tiket. Tapi sebagai penikmat film science action, saya tak mau ketinggalan. Makanya saat melihat film ini tayang, saya segera menontonnya.

Saya menyenangi film action yang menampilkan banyak adegan kejar-kejaran serta pertarungan antar robot. Saya menyenangi kisah perlawanan terhadap para robot yang hendak menginvasi kehidupan manusia lalu menancapkan kuasa di bumi. Entah apa yang akan mereka lakukan pada bumi kita.

Film Terminator: Dark Fate merupakan sekuel terbaru dari franchise Terminator. Film yang diproduseri James Cameron dan David Ellison ini berfokus pada pertarungan mengalahkan robot pembunuh demi sebuah misi penyelamatan masa depan umat manusia.

Harus diakui, film ini sedikit membosankan. Terlebih bagi mereka yang sudah menyaksikan semua seri Terminator. Kisahnya mudah ditebak. Dalam banyak adegan, saya malah tidak fokus karena sudah bisa menebak apa ending-nya. Palingan adegan perkelahian, tembak-tembakan, lalu berujung pada ledakan.

***

Gadis berkulit coklat itu Dani Ramos. Ia tinggal di rumah sederhana di Meksiko bersama saudara lelaki dan ayahnya. Sepintas, hidupnya biasa-biasa saja. Tak ada yang spesial dalam keluarga mereka. Ketegangan mulai muncul saat robot berjenis Rev-9 yang datang dari masa depan dan sangat canggih hendak membunuhnya.

Dikisahkan, di masa depan, bumi akan dilanda berbagai bencana yang menandai berakhirnya perjalanan hidup manusia. Bumi akan mengalami satu fase yang dinamakan kiamat. Dalam situasi seperti ini, muncullah para robot yang siap berkuasa. Mereka lalu memburu semua ras manusia yang masih bertahan. Mereka ingin mengambil alih bumi.

Dani adalah misi utama Terminator Rev-9 yang diperankan Gabriel Luna. Rev-9 dikirim ke masa lalu untuk menghentikan manusia dan mengambil alih skynet. Dani kemudian diburu karena dipercaya sebagai sosok yang mampu menghancurkan dominasi para robot di masa depan.

Saya menyukai akting Gabriel Luna dalam film ini. Ia cukup sepadan jika disandingkan dengan sosok Robert Patrick. Ia membunuh siapa saja yang hendak menghalangi misinya. Sebagai Rev-9, ia mampu mengubah bentuk tubuhnya dengan mudah. Ia mirip jenis T-1000 yang dapat pulih dengan cepat saat dihujam peluru. Yang paling mengesankan, Rev-9 bisa menciptakan kloning dirinya dalam sekejap.

Sosok lain yang juga datang dari masa depan adalah Grece, sosok manusia super yang dirancang untuk menghentikan Rev-9. Jika misi utama Rev-9 adalah membunuh Dani, maka misi utama Grace adalah melindunginya. Namun, Grace tidaklah sekuat dan secanggih Rev-9. Ia serupa manusia lain pada umumnya dengan kemampuan terbatas. Saat kekuatannya melemah, ia menjadi sangat bergantung pada obat-obatan.

Tak lupa, sejumlah karakter yang sudah akrab dengan seri Terminator juga kembali muncul dalam film ini. Di antaranya adalah sosok Sarah Connor yang diperankan aktris senior Linda Hamilton dan Arnold Schwarzenegger yang merupakan robot berjenis T-800. Keduanya ikut membantu Grece dalam misi penyelamatan itu.

Sebagaimana seri Terminator lain, idola saya adalah Arnold Schwarzenegger. Wajahnya memang tak muda lagi. Perutnya juga semakin membesar. Tapi dibalik usianya yang sudah mencapai 72 tahun, ia tetap perkasa. Saya menyukai Arnold saat pertama kali menonton Terminator. Ia memang kelihatan gagah saat memegang senjata. Saya suka stylenya saat mengenakan kaca mata hitam.

Dalam film ini, Arnold bukanlah sosok utama. Ia menjadi pelengkap. Kehadirannya baru muncul di tengah-tengah cerita. Ia dikisahkan tinggal di Texas dan menjalani hari-hari sebagai robot. Bedanya, ia adalah robot yang berkeluarga dengan ras manusia. Ia membantu misi itu demi membayar kesalahannya atas Sarah Connor di masa lalu.

Biasanya usai menonton film seperti ini, saya akan bertanya dalam hati. Benarkah masa depan adalah milik para robot yang sengaja dirancang demi menggantikan eksistensi manusia?

Jakarta, 04 November 2019

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k