Langsung ke konten utama

Usai Menonton Film JOKER

Joker

Di balik setiap sosok, selalu terdapat kisah-kisah yang menarik untuk ditelusuri. Selalu ada “the turning point” atau titik balik yang mengubah haluan hidup seseorang. Selalu ada proses dan pengalaman personal yang kemudian membuat seseorang memilih untuk berada pada posisi tertentu.

Film Joker menguak satu sisi yang selama ini tidak pernah diketahui orang. Tadinya, saya kira cerita film ini akan mempertegas mengapa musuh abadi Batman itu layak dibenci. Ternyata salah. Setelah menonton Joker, saya malah diam-diam menaruh simpati pada pergulatan hidup pelawak malang itu. Saya melihat satu kontras.

Dalam film Batman, Joker dikenal sebagai penjahat jenaka namun sadis. Ia memiliki senyum khas yang mengerikan. Joker adalah teror yang mencekam penduduk Gotham. Ia adalah dalang dari segala kerusuhan.

Tapi dibalik semua karakter buruk yang disematkan kepadanya, pernahkah kita berfikir apa yang sebenarnya melatarbelakangi karakter itu? Apakah Joker memang dilahirkan untuk menebar ketakutan? Apakah ia memang layak dibenci?

***

Lelaki kurus itu nampak sumringah. Ia selalu berusaha tersenyum saat bertemu banyak orang. Ia, lelaki yang memiliki gangguan mental itu bekerja sebagai badut. Namanya Arthur Fleck. Ia adalah pelawak yang tinggal di apartemen kumuh Kota Gotham bersama ibunya Peny Fleck. Arthur sangat terobsesi menjadi seorang komika atau stand up comedian. Demi mimpi besarnya itu, Ia rela melakukan apa saja.

Arthur mengambil semua job pertunjukan. Ia menghibur semua orang. Ia menjalani suka duka sebagai badut. Hanya dengan terus menebar senyum dan menyenangkan hati semua orang, dia mendapat uang. Namun sebagaimana banyak orang lain di luar sana, hari-hari Arthur tak selalu berjalan lancar.

Ia kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan dari lingkungan sekitarnya. Ia memiliki gangguan psikologis dan mengidap Pathological laughter and crying (PLC), yang kerap membuatnya tertawa saat menghadapi tekanan emosi. Hal ini pula yang menyebabkan ia sering dikucilkan.

Sepanjang film ini, kita bisa menyaksikan betapa malangnya kehidupan seorang Arthur Fleck. Ia tidak hanya harus berjuang melawan gangguan kejiwaan, tetapi juga karir dan ekonomi. Beragam kekerasan fisik dan mental terpaksa ia terima. Padahal, ia hanya seorang badut dengan penghasilan tak seberapa. Masa depannya sehitam lorong-lorong jalan kota Gotham. Kehidupan sama sekali tak memihak pada lelaki itu.

Suatu waktu, Arthur yang saat itu baru saja dipecat, terlibat konflik dengan 3 pemuda di kereta. Ia dikeroyok hingga hampir tak sadarkan diri. Lalu sejurus kemudian, suara sesuatu terdengar menggelegar. "...DOR…". Arthur menembak mereka. Inilah pembunuhan pertama yang dilakukan Joker.

Yang menarik adalah, film ini tak hanya mengangkat potret hidup seorang Arthur Fleck, tapi juga berusaha menggambarkan fenomena sosial Gotham City secara keseluruhan. Kota ini menyajikan satu fenomena kesenjangan sosial yang sangat kontras. Gotham, di era 1980-an adalah kota yang mencapai titik kronis, penuh ketimpangan, kejahatan, dan kemarahan.

Bagi sebagian besar penduduk Gotham, kasus pembunuhan 3 pemuda di kereta yang dilakukan seorang badut bukanlah kasus yang harus diberi sanksi hukum. Malah, tragedi itu dimaknai sebagai bentuk perlawanan kaum marginal kota yang disimbolkan oleh seorang badut, terhadap kaum elit yang selama ini mengendalikan semua aset.

Aksi penembakan yang dilakukan badut itu dibicarakan seisi kota. Ia diberitakan semua media lalu menjadi viral. Ia serupa api yang dengan cepat membakar ilalang kesadaran kaum marginal Gotham City. Penembakan itu lalu menjadi pemicu aksi demonstrasi dimana-mana.

Saya menyukai akting Joaquin Phoenix dalam film ini. Ia nyaris memainkan semua adegan sulit dengan sempurna. Ia berusaha menirukan cara tertawa Arthur Fleck. Bahkan dalam satu media, Jaoquin Phoenix diberitakan rela menurunkan berat badannya demi tampil maksimal.

Di film ini, sosok Arthur sangatlah kurus. Tulang-tulangnya terlihat saat dia tidak memakai baju. Mukanya pucat dan penuh beban. Meski demikian, dia tetap terlihat luwes ketika menari. Arthur punya gaya berjalan yang khas, caranya merokok bahkan berlari pun sangat pas untuk sosok Joker.

Penampilan ini tidak bisa dibandingkan dengan sosok Joker yang ditampilkan Heath Ledger dalam The Dark Knight karena jelas berbeda. Joker versi Joaquin ini adalah Joker yang belum pernah diperlihatkan di layar lebar. Dia adalah sosok yang sakit, penuh derita, dan berusaha bertahan hidup.

Cerita yang dibuat Todd Phillips dan Scott Silver ini merangkum momen krusial dalam kehidupan Arthur. Beberapa fase kehidupannya digambarkan dengan dramatis, dan membuat trenyuh. Plot tentang asal usul Arthur dibangun dengan apik serta mengundang rasa penasaran. Bukan perkara mudah membuat karakter yang sudah terkenal kejam menjadi sosok yang layak mendapat empati.

Kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini, apakah sosok Joker memang dilahirkan untuk menebar ketakutan? Apakah ia memang layak dibenci? Joker mengajak kita pada pergulatan batin yang panjang. Todd menggambarkan perjalanan hidup Arthur dengan sabar. Dia tidak terburu-buru dan membiarkan penontonnya ikut terlena dalam mengikuti perjalanan hidup si jenaka itu.

Kutipan yang paling saya sukai dari film ini adalah "IBUKU SELALU BERPESAN UNTUK TERSENYUM DENGAN MEMASANG WAJAH BAHAGIA. KATA IBU, TUGASKU MEMBAWA TAWA DAN KEBAHAGIAAN KEPADA DUNIA."

Kutipan itu seakan menggambarkan Joker dari sisi paling manusiawi. Semua manusia punya kecenderungan berbuat baik. Semua manusia selalu ingin menjadi berkah bagi manusia lain. Faktor mental dan lingkungan lah yang kadang membuat kita bertindak diluar batas kewajaran. Faktor ini membuat manusia tak bisa dikendalikan. Ia bertindak sesuka hati. Ia melihat kebenaran dalam perspektif dirinya sendiri.

Mereka yang tercatat sebagai penjahat adalah orang baik yang selalu diperlakukan tidak baik. Mereka menjadi antagonis karena terpaksa. Mereka memilih jalan gelap demi melampiaskan kebencian kepada kehidupan yang dirasa tak adil.

Saya teringat kutipan George R. R. Martin bahwa tidak ada yang menjadi penjahat dalam cerita mereka sendiri. Kita semua adalah pahlawan dari kisah kita sendiri. Kata George, "Nobody is a villain in their own story. We're all the heroes of our own stories".

Dunia boleh saja membenci Joker, tapi ia tetap pahlawan bagi kelompoknya. Ia adalah simbol perlawanan satu kelompok terhadap pemerintah. Negara dianggap tak mampu menghadirkan keadilan bagi semua orang. Kita bisa menyaksikan betapa Joker hanyalah satu dari sekian banyak korban kekerasan sekelompok elit.

Bukankah ada begitu banyak joker-joker lain disekitar kita?

Jakarta, 10 Oktober 2019

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k