Langsung ke konten utama

Pengalaman Menyaksikan Pelantikan Presiden di Gedung DPR

Pelantikan Presiden RI 2019 (Gambar: Berita24)

Kemarin, saya berkesempatan menyaksikan pelantikan Pak Jokowi dan Kyai Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil presiden Indonesia 2029-2024. Sebenarnya, saya tidak menyaksikan secara langsung. Saya hanya mengikuti proses bersejarah itu dari dekat. Saya melihatnya dari gedung DPR/MPR dimana segala sesuatunya dilaksanakan.

Saya mencatat banyak hal yang berbeda dari pelantikan presiden. Ketimbang saat pelantikan DPR, MPR, dan DPD, pelantikan presiden memang super ketat. Penjagaan berlapis diterapkan oleh aparat keamanan. Tidak sembarang orang bisa masuk gedung DPR. Jika tak membawa undangan acara, jangan harap Anda bisa melewati pintu gerbang utama.

Kemarin, saya kebetulan mendampingi salah satu undangan yang juga merupakan Anggota DPR RI. Di sepanjang jalan menuju gedung DPR, banyak personel keamanan yang berjaga-jaga. Kabarnya, sebanyak 31 ribu personel gabungan dikerahkan untuk mengamankan pelantikan ini.

Maklumlah, banyak tamu negara yang ikut hadir. Di antaranya adalah Sultan Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah, PM Australia Scott Morrison, PM Singapura Lee Hsien Long, PM Kamboja Hun Sen dan Raja Eswatini Raja Mswati III.

Selain tamu negara, pelantikan juga setidaknya diikuti oleh 711 anggota MPR yang terdiri atas DPR dan DPD. Belum lagi para kabinet kerja di era Jokowi-JK dan sejumlah tamu penting lain termasuk Pak Prabowo dan Sandiaga Uno yang merupakan pesaing Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres lalu.

Membiarkan momentum pelantikan ini dirusak oleh kelompok tertentu, sama dengan mencoreng muka sendiri. Apapun itu, marwah negara harus tetap dijaga di hadapan bangsa lain. Pelantikan seorang kepala negara harus disambut gegap gempita, bukannya malah menggelar aksi demonstrasi. Kira-kira demikian kata seorang pejabat negara di salah satu media.

Setiba di area gedung, saya melihat banyak sekali Tank dan Barakuda. Pasukan Brimob dan TNI bersenjata lengkap hilir mudik. Jurnalis dari banyak media dan stasiun televisi pun tampaknya sudah menanti para tamu undangan untuk diwawancarai.

Saya juga melihat Prabowo dan Sandi memasuki gedung. Sepertinya mereka memang sudah janjian untuk pergi ke acara ini bersamaan. Saat mereka tiba, banyak sekali wartawan yang mengerubungi. Mungkin mereka hendak bertanya banyak hal pada pasangan itu. Entahlah.

Saya bisa merasakan bagaimana tuntutan profesi para jurnalis. Saya punya banyak teman yang berprofesi di bidang ini. Mereka tidak ingin ketinggalan meliput momentum besar, lalu sesegera mungkin menyebarkannya ke publik. Kabar tentang dilantiknya seorang presiden adalah kabar yang mesti diketahui semua anak bangsa.

Saya mengenal beberapa jurnalis yang biasa meliput di DPR. Saat sama-sama minum kopi di belakang Minimarket, saya sempat berbincang. Sahabat itu mengaku sengaja datang lebih awal. Ia sudah tiba di gedung DPR sejak pukul 7 pagi. Padahal, sesuai kesepakatan MPR, acara baru akan dimulai sekitar pukul 14.30. "Kalau telat nanti masuknya susah. Lagian sebentar lagi pasti macet tuh di luar." Katanya.

Yang menjengkelkan dari acara pelantikan kemarin adalah acara sempat ditunda satu jam. Tak jelas apa alasannya. Tapi menurut desas desus yang beredar di DPR, justru dari pihak presiden lah yang memintanya. Ada sesuatu dalam budaya Jawa yang mengharuskan acara tersebut ditunda. Mungkin soal penghitungan waktu.

Penundaan itu mengingatkan saya pada orang-orang kampung. Di kampung saya, masih banyak orang yang percaya mitos soal waktu yang baik untuk memulai pekerjaan besar. Misalnya saat hendak menikah, pindah rumah, hajatan, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dianggap penting. Saya tak menyangka bahwa mitos-mitos seperti ini juga dipercaya oleh para pejabat tinggi negara. Saya hanya tersenyum mendengarnya.

Seperti biasa, pelantikan Presiden kemarin berlangsung hikmat. Usai mengucapkan sumpah, pak Jokowi pun berpidato dengan penuh optimisme dan daya ledak. Sesekali peserta bertepuk tangan mendengar teriakan SDM Unggul. Seisi ruangan mencair. Semua bersorak sorai. Urusan pidato itu hanyalah kata-kata tanpa perwujudan adalah soal lain.

Yahhh, pada akhirnya kita hanya bisa menyaksikan proses sakral itu dari luar. Kita hanya melihat segala sesuatunya dari tepian tanpa pernah mengetahui apa-apa deal-dealan setelahnya. Kita hanya menyaksikan yang nampak di depan panggung, sementara dibelakang, para dalang akan saling mengunci atas akses sumberdaya.

Kita adalah penonton yang sudah membeli tiket demi menyaksikan pertunjukan selama lima tahun. Hikkkzzzzzz.

Jakarta, 21 Oktober 2019

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k