Langsung ke konten utama

Mereka yang Menguasai Data, Menguasai Masa Depan

Buku Yuval Noah Hararu

Berapa hari ini saya sedang membaca buku 21 Lessons for the 21st Century yang ditulis sejarawan asal Israel, Yuval Noah Harari. Saya penasaran sebab banyak sahabat di media sosial sudah menulis riview tentang buku ini.

Sebelumnya, saya juga sudah memiliki dua buku dari penulis yang karyanya amat disukai Barrack Obama, Bill Gates dan Mark Zuckerberg ini. Buku pertamanya adalah Sapiens yang mengurai ikhwal kemunculan Homo Sapiens hingga menjadi spesies terakhir di muka bumi. Selanjutnya, dia menulis Homo Deus yang berbicara tentang masa depan manusia.

Buku ini terbagi atas lima bab utama, yang lalu di pecah menjadi beberapa topik pembahasan. Lima bab utama itu adalah: tantangan teknologi, tantangan politik, keputusasaan dan harapan, kebenaran, daya tahan.

Isinya adalah hamparan atas berbagai fenomena dan realitas dibelahan dunia yang menarik untuk didekati dan ditelaah secara mendalam. Pada setiap kisah, Harari mengajukan beberapa pertanyaan atau renungan filosofis.

Salah satu pembahasan yang saya sukai adalah soal KESETARAAN. Kata Harari, mereka yang memiliki data, memiliki masa depan. Benarkah? Munculnya algoritma dan istilah Big Data hanya membuat kekuasaan terkonsentrasi pada sedikit orang yang kemudian menguasai dunia politik, sosial, dan ekonomi.

Di zaman agrikultur, tanah adalah aset yang paling berharga di dunia. Di era modern, mesin dan pabrik menjadi lebih penting. Inilah yang menjadi titik analisis Karl Marx tentang pertentangan kelas, yakni mereka yang disebut kaum borjuis dan proletar.

Tapi di era sekarang, data akan menggeser tanah dan mesin sebagai aset yang paling penting. Politik menjadi medan pertempuran untuk merebut kontrol atas data. Aktivitas manusia modern tak bisa lepas dari data. Bahkan saat bepergian sekalipun, kita mempercayakan google untuk memandu perjalanan kita.

Pertempuran atas data sudah terjadi. Di dunia bisnis, semua orang tak berdaya saat berhadapan dengan raksasa-raksasa data seperti Google dan Facebook. Dua perusahaan itu punya kontrol atas lalu lintas data di dunia. Dua perusahaan itu punya algoritma yang mengatur mana informasi dilihat orang dan mana yang bukan.

Di dunia politik, kita sudah menyaksikan kemenangan Trump yang diikuti skandal atas bocornya data Facebook ke Cambridge Analytica. Mereka yang memiliki data akan dengan mudah memilah dan mengirimkan pesan-pesan yang serupa peluru ke jantung massa yang tepat.

Namun sebagaimana kita ketahui, hanya segelintir orang yang memiliki akses atas data-data dari miliaran orang di dunia ini. Google ingin mencapai satu titik dimana kita dapat menanyakan apa saja, dan mendapatkan jawaban terbaik di dunia.

Semakin banyak data yang mengalir dari tubuh dan otak kita ke mesin pintar melalui sensor biometrik, maka semakin mudah bagi perusahaan dan lembaga pemerintah untuk mengenal, memanipulasi, hingga membuat keputusan atas nama kita.

Pertanyaannya, bagaimana cara mencegah elit kecil ini memonopoli kekuatan seperti Tuhan? Bisakah jaringan algoritma membentuk perancah untuk komunitas manusia global yang secara kolektif dapat memiliki semua data dan ikut mengawasi masa depan?

Atau, ketika ketimpangan global dan ketegangan sosial meningkat di seluruh dunia, mungkinkah Mark Zuckerberg dapat memanggil 2 miliar temannya untuk bergabung dan melakukan sesuatu secara bersama-sama?

Saya baru membaca sebagian. Untuk buku sebagus ini, tak perlu terburu-buru menunstaskannya. Malah, beberapa topik harus saya baca berulang-ulang agar benar-benar memahaminya.

Kesan saya, ini memang buku yang super keren.

Mataram, 30 Oktober 2019

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k