![]() |
Presiden PKS, Sohibul Iman (Gambar: CNN Indonesia) |
Sikap Politik PKS secara nasional itu sudah jelas. Mereka menyatakan diri OPOSISI, yakni berada di luar pemerintah. Tempo hari, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Sohibul Iman sudah menyatakan, bahwa PKS siap menjadi satu-satunya partai oposisi bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Hal itu disampaikan demi menanggapi pertanyaan publik terkait pertemuan Pak Prabowo dan Jokowi, serta wacana merapatnya Gerindra ke pemerintah. "Yang jelas ketika tidak ada satu partai pun yang siap jadi oposisi, maka PKS Insya Allah siap agar ada kepantasan demokrasi." Demikian katanya dalam satu media.
Dalam demokrasi, merapatnya banyak partai ke pemerintah adalah sah-sah saja. Sebagai pilihan politik, semua pihak harus menghormatinya. Namun, sebagaimana keputusan politik partai lain, PKS juga memiliki alasan yang kuat untuk menjadi oposisi.
Sejauh yang saya amati, ada beberapa hal mendasar yang melatarbelakangi: Pertama, PKS ingin memberi contoh budaya politik yang sehat. PKS akan merasa lebih leluasa, terhormat, bermartabat, dan objektif dalam menawarkan perspektif dan solusi kebangsaan jika tetap berada di luar pemerintahan. Mereka ingin memaksimalkan peran parlemen dalam hal check and balances sesuai konstitusi.
Kedua, demi mempertahankan integritas partai. Kita semua tahu bahwa pada Pilpres lalu, PKS berkoalisi dengan Partai Gerindra, PAN, dan Demokrat yang mengusung pasangan Prabowo-sandi. Bahkan sebelumnya, partai ini juga konsisten menjadi partai oposisi selama lima tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Ketiga, mempertahankan basis massa. Demi tetap stabilitas partai dari hantaman gelombang, sejumlah langkah-langkah strategis harus berani diambil. Salah satunya adalah membangun citra bahwa partai ini selalu konsisten dengan sikap politiknya.
Sebagaimana dicatat akademisi Greg Fealy, cikal-bakal PKS bermula dari Jamaah Tarbiyah yang bersifat apolitis dan fokus pada agenda-agenda dakwah personal melalui lingkar studi agama yang disebut usrah.
Gerakan dakwah kampus ini memiliki titik tekan sebuah eksperimen kultural untuk menciptakan jenis baru gerakan Islam di Indonesia. Elemen penting gerakan ini adalah kesalehan pribadi dan disiplin ketat anggotanya, serta keyakinan teguh pada paradigma Islam sebagai sumber nilai bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Seiring waktu, gerakan ini lalu ikut menjadi garda depan reformasi melalui Keastuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Selanjutnya bertransormasi menjadi Partai Keadilan (PK). Sejarah mencatat, Jakarta pernah menjadi basis bagi PK. Gelora Bung Karno (GBK) pernah diramaikan oleh kader PK yang mendapat simpati luas karena aksi suka-rela, dan kegiatan sosial kadernya di masyarakat.
Hingga saat ini, PKS tercatat sebagai salah satu partai yang memiliki basis massa yang jelas dan militan. Doktrin yang dilakukan kepada para kader sungguh kuat dan mengakar. Namun, sekali lagi, segala hal bisa saja terjadi.
Pilpres yang barlansung baru-baru ini tanpa sadar telah membelah masyarakat menjadi dua kubu. Fenomena cebong vs kampret dinilai akan terus dijadikan mainan politik oleh para elit pada kontestasi-kontestasi berikutnya. Malah, dugaan saya akan lebih meruncing.
PKS nampaknya ingin keluar dari isu itu. Tanpa memperdulikan cebong-kampret, mereka ingin membuktikan kepada pemilihnya bahwa politik itu adalah soal sikap dan konsistensi. Lagian, apa yang akan orang katakan di luar sana jika pada pemilu lalu mereka yang mati-matian membela Prabowo-Sandi, malah meminta jatah kursi kabinet setelah semuanya usai.
Tanpa sikap politik yang jelas dan mencla-mencle, sebuah partai politik hanya akan menggambarkan politik sebagai satu tontonan narsis, dimana setiap aktor akan berdandan secantik mungkin pada moment tertentu demi memantik simpati banyak orang. Politik akan diartikan sebagaimana definisi Harold Lasswell, yakni siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
Kalian tak sepakat?
Jakarta, 14 Oktober 2019