![]() |
Lapak buku Pak Surip |
Di sudut ruangan itu, di ujung lorong panjang yang selalu dilalui banyak orang, terdapat satu tempat yang selalu memantik rasa penasaran setiap kali melintas. Letaknya persis di bawah tangga salah satu ruangan di gedung DPR.
Tempat itu adalah sebuah lapak buku sederhana milik seorang berumur 50 an tahun. Namanya Sutrisno. Orang-orang di tempat ini memanggilnya "Surip Koran" sebab pekerjaannya sehari-hari adalah menjajakan koran, buku, dan majalah.
Hari-hari di DPR, saya hanya melintas. Saya hanya sesekali melihat aktivitasnya yang mengatur-atur buku. Saya tak tertarik membeli buku sebab di gedung DPR sudah ada perpustakaan umum yang bukunya bisa diakses secara gratis.
Tak hanya besar, gedung DPR di Senayan ini memang punya fasilitas lengkap. Bahkan untuk sekedar mengambil uang di ATM saja, kita tak perlu jauh-jauh ke luar. Kita cukup berjalan menuju lantai dasar gedung Nusantara II sudah ada. Fasilitas lain seperti klinik, museum, mini mart, hingga koperasi juga tersedia.
Maklumlah, sebagai satu lembaga tinggi yang memproduksi kebijakan, anggarannya memang tergolong cukup besar. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, anggaran untuk DPR RI tercatat sebanyak 5,11 triliun. Angka tersebut naik 833 miliar dibandingkan alokasi dalam RAPBN 2020 yang sebesar 4,28 triliun.
Hah..???
Kembali pada pak Surip. Entah kenapa, tadi pagi saya mampir di lapak buku miliknya. Saya melihat-lihat buku. Sepintas, memang tak ada buku-buku baru. Tapi koleksinya cukup banyak. Saya melihat banyak buku bertemakan filsafat, sosiologi, hingga ilmu politik dan sastra.
Saya kemudian berbincang dengan lelaki itu. Ia bercerita banyak hal. Ia berkisah kesehariannya sebagai penjual buku di DPR. Lama berbincang, sorot matanya nampak mengenang satu lapis sejarah yang pernah terjadi di tempat ini.
Setiap hari, dia menempuh jarak lebih dari 20 kilometer dari rumahnya di Sawangan, Depok, menuju Senayan. Dia membelah jalanan ibukota yang padat dengan sepeda motor. Ruang kerjanya di DPR sangat terbuka. Tak sulit menemukan lapak Pak Surip yang memang selalu buka sekitar pukul 9 pagi.
Lapak yang kini dikelolanya sudah ada sejak tahun 1972. Di masa itu, DPR dipimpin oleh politisi Idham Chalid. Dulu, ayahnya yang memulai berjualan di dalam gedung. Ia rajin mengikuti sang ayah ketika berumur 10 tahun. Surip lalu menjadi saksi atas banyak peristiwa penting yang terjadi di tempat ini.
Yang paling lekat dalam ingatannya adalah tragedi 98. Hari itu, 18 Mei 1998. Seperti biasa, Surip segera bergegas membuka lapaknya. Demo mahasiswa besar-besaran sedang berlangsung di luar DPR. Di dalam gedung, suasana sudah mulai tak kondusif. Hari itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, gedung DPR berhasil dikuasai mahasiswa.
Rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang. Semua bersorak mendengar pidato pengunduran diri sang presiden. Semua orang bergembira, sebab republik tak lagi diselimuti awan gelap otoritarianisme. Reformasi dipilih sebagai gantinya. Indonesia kala itu adalah Indonesia yang serupa burung kecil yang siap terbang tinggi.
"Kebetulan saat demo itu saya lagi jaga. Waktu itu banyak sekali mahasiswa masuk ke dalam menduduki gedung DPR. Pokoknya kacau pak, sampai-sampai saya nginep di sini 3 hari." Demikian kenang lelaki itu sambil tersenyum.
Saya sangat menikmati cerita Pak Surip. Saya menemukan fakta reformasi dari sisi lain. Saya membayangkan suasana gedung DPR yang berubah tegang. Saya membayangkan enam ribu mahasiswa Front Nasional dari berbagai Universitas di tanah air yang datang memadati gedung, lalu bersiap melucuti isi ruangan.
Memang, peristiwa pendudukan gedung DPR 98 tak seperti yang dibayangkan banyak orang. Tak ada bentrok apalagi suara tembakan. Sejumlah mahasiswa heran menyaksikan sikap aparat yang tiba-tiba melunak.
Dalam satu wawancara yang digelar bersama Faizal Hoesein selaku Koordinator Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional saat itu menyatakan bahwa aksi pendudukan gedung DPR oleh mahasiswa berjalan mulus. "Situasi begitu absurd, kami yang sudah siap bertempur malah dibiarkan masuk begitu saja." Terangnya.
Begitu rombongan bus dan kendaraan yang memuat rombongan Front Nasional sampai di kawasan Taman Ria, situasi ternyata tak seperti yang dikhawatirkan. Para panser milik Korps Kavaleri AD dan sekitar dua kompi prajurit Korps Marinir AL yang tengah berjaga, membiarkan rombongan itu masuk begitu saja.
Para prajurit berbaret hijau justru mengarahkan para korlap untuk mengatur barisannya secara tertib. Mereka lantas menyilakan para mahasiswa untuk masuk secara berbanjar. Sementara di kanan kiri para prajurit bersenjata lengkap tetap mengawal.
Kini, setelah 21 tahun reformasi, tak ada yang benar-benar berubah. Sejumlah problem mendasar bangsa ini masih tetap sama yakni soal keadilan dan kesejahteraan. Korupsi sebagai satu isu besar yang pernah menghantam orde baru, secara perlahan juga diidap oleh generasi reformasi. Malah, makin marak.
Seperti halnya Pak Surip, selama 40 tahun menjadi penghuni tetap gedung wakil rakyat, posisinya tak pernah tergantikan hingga saat ini. Ia masih Surip yang menjual koran, buku dan majalah kepada para penghuni gedung yang wajahnya berubah-ubah tiap lima tahun sekali.
Secara de facto, ia tercatat sebagai penghuni terlama di gedung ini. Ia adalah penguasa gedung DPR. Selama empat dekade berjualan di gedung parlemen, ia mengenang banyak hal. Ia mengenang banyak wakil rakyat yang sehari-hari menjadi langganannya.
Ia bercerita tentang mantan Wakil Ketua DPR, Utut Adianto Wahyuwidayat sebagai salah satu yang terbaik di matanya. Surip berkisah tentang Utut yang selalu ramah dan sering mengajaknya berbincang saat mengantarkan koran. "Bahkan, kadang Pak Utut tak sekedar membayar, tapi juga memberi saya tip lebih." Ungkapnya.
Saat hendak pergi, kembali pak Surip menawari saya buku. Ia mempromosikan bukunya. Ia berjanji akan memberikan saya harga khusus. Buku itu karangan Pramoedya Ananta Toer, salah seorang penulis besar yang pernah dimiliki bangsa ini.
Ah sayang, saya sudah membacanya.
Jakarta, 15 Oktober 2029