![]() |
Usai laga melawan Thailand (Gambar: Tirto) |
Apa yang kita tanam sebelumnya, adalah apa yang kita tuai hari ini. Sungguh kalimat tersebut seakan bisa menggambarkan apa yang menimpa Timnas Indonesia belakangan.
Skuat Garuda kalah beruntun dari dua laga yang dilakoninya pada Kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Di laga pertama, kita kalah dari Malaysia Dengan skor tipis 2-3. Menyusul skor 0-3 kala menjamu Thailand.
Sebenarnya, saya tidak terlalu terkejut. Hasil seperti ini memang sudah bisa ditebak jika melihat carut marut kondisi persepakbolaan kita. Malaysia, Vietnam, bahkan Thailand adalah negara-negara yang dulunya berada dibawah kita dalam hal sepak bola. Tapi sekali lagi, itu dulu.
Thailand memang sempat terpuruk. Tapi berbekal dedikasi yang kuat, serta pengelolaan pemain muda yang konsisten, negara Gajah Putih mampu kembali ke jalur yang semestinya. Federasi Sepak Bola Thailand juga sempat dirundung masalah kala Worawi Makudi selaku presiden FAT waktu itu divonis 16 bulan penjara karena kasus pemalsuan dokumen. Belum lagi masalah korupsi.
Hebatnya, situasi demikian tidak berpengaruh pada klub-klub di liga Thailand. Mereka terus saja konsisten dalam hal mengelola aset klub seperti peningkatan mutu akademi hingga branding klub untuk menaikkan nilai tawar.
Beberapa tahun terakhir, Inggris telah menjadi kiblat para pengelola liga dan klub sepak bola Thailand. Mereka meniru apa pun yang ada di persepakbolaan negeri Tiga Singa. Tak ayal, dari jersey hingga stadion-pun dibuat sangat stylish dan perfeksionis. Dengan konsep bercitarasa Eropa, mayoritas klub papan atas TPL kemudian mampu menarik sejumlah sponsor besar untuk berinvestasi.
Para sponsor klub di Thailand setidaknya akan mendapatkan jaminan keuntungan, karena dengan konsep ini, bukan tidak mungkin, stadion akan selalu penuh dan aksesoris klub yang bisa terjual habis. Belum lagi kerjasama dengan berbagai pihak yang pada akhirnya bisa menopang kebutuhan finansial klub.
Harus diakui, Thailand memang sangat mendominasi sepak bola di Asia Tenggara saat ini. Walaupun sempat porak-poranda dalam waktu yang lama, tapi perlahan mereka mampu kembali bersaing. Itu pun diraih dengan waktu yang tidak sebentar. Kuncinya adalah komitment kuat untuk berbenah.
***
Beralih ke Vietnam, kunci sukses sepak bola negara itu ada pada keseriusan Federasi Sepak Bola Vietnam (VFF) dalam mengembangkan pemain muda. Hal ini dimulai dengan membangkitkan pemain muda yang terkubur bakatnya, regenerasi pemain, hingga pembinaan pemain muda yang dilakukan di setiap usia.
Hasilnya, dari berbagai ajang yang melibatkan usia muda, Vietnam terlihat selalu tampil memukau. Menembus partai semifinal Piala Asia U-19 2016, masuk putaran final Piala Dunia U-20 2017, runner-up Piala Asia U-23 2018, semifinalis Asian Games 2018, dan perempat final Piala Asia 2019.
Akademi yang mumpuni, pelatih yang visioner, pendekatan taktik yang tepat, serta kompetisi yang memberikan kesempatan bermain bagi pemain muda, membuka jalan bagi Negeri Paman Ho. Vietnam kini memiliki segala syarat untuk menjadikan mereka klub yang pantas untuk diperhitungkan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? nasib persepakbolaan kita bisa dibilang indah rupa daripada warna. Ekspektasi tinggi terhadap tim nasional hanya berakhir di meja-meja diskusi tanpa upaya yang jelas untuk membenahi berbagai kontroversi di luar lapangan.
Tentu masih lekat dalam ingatan kita saat sepak bola nasional terkena sanksi dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pada tahun 2015-2016. Akibatnya kala itu, kompetisi domestik mandek dan kiprah di level internasional terhenti.
Setelah sanksi dicabut, usaha untuk membenahi keadaan tak kunjung usai. Kepengurusan PSSI sebagai organisasi induk sepakbola kita dilanda berbagai masalah. Berita soal mafia sepak bola, kerusuhan antar suporter, utang-utang yang tertunggak menjadi penghias media selama hampir lima tahun terakhir.
Tanpa perlu mengurai lebih dalam problem dan karut-marut sepak bola Indonesia, kita memang perlu komitment serius untuk menuntaskan permasalahan ini. Mendongkrak prestasi timnas tak bisa dilakukan secara instan, seperti yang coba dilakukan dalam 15 tahun terakhir lewat naturalisasi pemain. Hasilnya nihil.
Satu-satunya upaya yang mesti dilakukan adalah konsisten memaksimalkan potensi pemain muda dan membangun liga yang berkualitas. Sepak bola kita akan sulit berkembang jika masih mengandalkan pola pembinaan sporadis.
Langkah di atas bisa dibarengi dengan meningkatkan kinerja pelatih-pelatih sepak bola. Pemerintah bisa saja mengadakan program beasiswa bagi masyarakat untuk mendapat pendidikan kepelatihan ke luar negeri.
Pelatih Timo Scheunemann pernah menyebutkan bahwa Jepang secara agresif mendidik dan mengirim pelatih-pelatih sepak bolanya ke luar negeri dalam jumlah ribuan untuk mendapatkan ilmu kepelatihan tingkat tinggi. Hasilnya terbukti, sepak bola Jepang saat ini sangat luar biasa. Bukan rahasia lagi bahwa peran pelatih dalam satu klub sangat berpengaruh.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Persepakbolaan Nasional yang melibatkan banyak kementerian dan lembaga terkait adalah angin segar bagi PSSI untuk segera bergegas.
Di tengah benang kusut dunia persepakbolaan kita, selalu ada yang bisa diharapkan. Saya yakin di tangan PSSI yang bersih dari praktik-praktik kotor, bagi-bagi uang, atau pengaturan skor, kita bisa menuai kembali kejayaan Indonesia di masa lalu.
Mataram, 11 September 2019