![]() |
Film Gie |
Kalau ada yang bilang demo tahun 98 dan sekarang itu adalah aksi yang berbeda, ya karena sudut pandang saja. Esensinya tetap sama. Ada sebagian masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil atau dijahati oleh rezim penguasa. Lalu mereka melawan.
Bagi kubu petahana yang sedang ingin mempertahankan kekuasaan, sah-sah saja jika pihaknya melabeli aksi di jalan Thamrin dengan segala sentimen negatif. Demikian juga sebaliknya. Wajar. Di zaman Suharto juga seperti itu.
Bedanya, Orde Baru tak punya banyak buzzer mitra rezim di media sosial. Akses informasi saat itu juga tidak sederas sekarang dimana semua orang dengan leluasa membaca, menulis, menginterpretasikan segala yang terjadi untuk kemudian dilempar kembali ke jagat maya.
Beberapa diantara kita mungkin hanya mengetahui bahwa saat tragedi "Trisakti" ada 4 orang mahasiswa meninggal tertembak. Kita tak punya gambaran detailnya. Kita tak tau apa yang terjadi pada rakyat sipil disekitar lokasi, fasilitas publik yang rusak, hingga nasib keluarga para korban dan semacamnya.
Tentu saja yang melekat dibenak kita adalah penembakan tersebut dilakukan secara membati buta. Tak ada yang memuji-muji kinerja aparat penegak hukum seperti sekarang. Padahal, mereka yang bertugas pada saat itu juga melayani kepentingan penguasa, bangsa dan negara.
Konteks demonstrasinya kan tak sama. Benar. Tapi nilai-nilai mendasar yang terkandung didalamnya sama saja. Ketidakadilan dan kepongahan rezim beserta kroni-kroninya.
Sumbawa, 25 Mei 2019