![]() |
Ilustrasi |
Di setiap diskusi sejarah, seringkali saya menilai bahwa tak semua orang mau bersusah payah membaca teks sebagaimana yang pernah dibentangkan para peneliti. Tak semua orang mau menelusuri tentang sejauh mana kebenaran informasi yang ia dapatkan. Makannya, pengetahuan tentang sejarah Sumbawa hanya dimiliki oleh sejumlah orang, sementara yang lain justru terjebak pada mitos.
Saya beri contoh. Dalam banyak diskusi, saya sering mendengar bahwa penamaan “Sale” pada teluk sale berasal dari nama salah seorang yang dikenal sakti pada zamannya. Ia dihadiahi harta sepandangan mata berkat pengabdiannya kepada Raja Sumbawa. Benarkah?
Sebenarnya, tak ada yang salah dengan cerita ini. Hanya saja, ketika didesak tentang aspek pembuktian atas informasi tersebut, mereka yang meyakini bahwa nama teluk sale diambil dari nama seorang yang sakti tadi harus mampu menyodorkan satu keping bukti. Lalu bagaimana caranya?
Mudah saja. Silahkan telusuri semua dokumen yang terkait tentang sejarah penamaan teluk sale, sejak kapan teluk itu dikatakan teluk sale dan sebagainya. Boleh jadi, kasusnya serupa bunga Raflesia yang namanya diambil dari nama penemu bunga tersebut yakni Raflesia Arnoldi.
Dalam dunia riset sejarah, dokumen memegang peranan penting sebab menjadi sumber tertulis yang mengkonfirmasikan kebenaran informasi tentang sejarah. Jika tak ada dokumen atas informasi itu, pertanyaannya, kenapa masih meyakini hal yang sama?
Pola seperti itu bisa juga diterapkan pada perdebatan tentang asal usul penamaan suku Samawa. Ada yang menyebut bahwa nama Samawa merujuk pada kitab suci Al-quran, ada pula versi yang menyebut bahwa penamaan Samawa dikutip dari bahasa Pali kuno. Ketika ditanya tentang sumber informasinya, rata-rata tidak bisa memberikan data yang kuat. Ini artinya sejarah sudah masuk pada ranah subyektivitas dan tertutup. Padahal, pengetahuan itu harus selalu terbuka dan bisa dikritisi dari banyak sisi.
Lemahnya, Sumbawa tak memiliki dokumen sejarah yang cukup kuat untuk menjelaskan beberapa contoh kasus di atas. Makannya, metodologi dalam menentukan sejarah amatlah dibutuhkan. Pada titik ini, saya akan mengamini kalimat pendiri sejarah Lord Acton bahwa metodologi amatlah penting agar sejarah tidak terjebak pada subyektivitas mereka yang hendak menuturkannya.
Melalui metodologi, kita bisa mengurai mana hal yang faktual, dan mana hal yang fiksional. Memang, metode punya banyak varian, serta bisa menggiring kita pada kesalahan, akan tetapi, metodologi menjaga agar seseorang tetap dalam koridor yang obyektif dan hati-hati dalam membahas sejarah. Melalui metode yang benar, seseorang akan bisa meminimimalisir bias subyektif, demi untuk melahirkan analisis yang lebih jernih dan kuat kebenarannya.
Selain itu, Pemda Sumbawa juga bisa membuat satu tim riset yang bertugas menggali, mengkaji, menganalisa, hingga menemukan kebenaran sejarah yang nantinya bisa dipertanggungjawabkan secara publik. Bila perlu, kirim mereka ke Belanda demi mengumpulkan dokumen-dokumen penting terkait budaya dan peradaban Sumbawa di masa silam.
Dengan begitu, tak akan ada lagi perdebatan tentang sejarah kesumbawaan kita. Tak akan ada lagi subyektivitas. Dengan cara melihat dari banyak sisi, maka sejarah itu bisa menjadi lebih obyektif, dan tidak terjebak pada mitos.
Sumbawa, 16 Agustus 2018