Langsung ke konten utama

Pilkada itu Lebih Kejam dari Perempuan

Ilustrasi (Photo: acehsatu.com)

Di satu group facebook, orang-orang tengah berdebat tentang siapa yang lebih pantas memimpin NTB paska Tuan Guru Bajang. Mereka sama-sama memuji jagoan masing-masing. Mereka hendak mengumumkan kepada publik bahwa pasangan yang mereka usung adalah pahlawan yang sebenarnya. Di media sosial, mereka sesumbar bahwa sang calon layaknya manusia dengan trah separuh dewa yang turun dari langit, lalu berniat mengentaskan segala permasalahan di bumi sejuta sapi. Benarkah? Cuih!

Entah kenapa, fenomena pemilihan kepala daerah selalu seperti ini. Sebagaimana lima tahun silam, praktik menebar kebohongan secara massal melalui pilkada kembali digelar. Mereka, yang menyebut dirinya pemimpin itu, akan kembali ‘jual kecap’ melalui tim sukses dan simpatisan demi menjelekkan kandidat lain, lalu berjanji untuk mendengarkan suara hati banyak orang.

Tak percaya? Marilah kita mencermati bakal calon satu persatu. Biarpun semuanya belum mendeklarasikan diri secara resmi, tetapi siapa-siapa yang akan bertarung di pilkada NTB nanti sudah bisa dipastikan. Ada kandidat yang menjabat sebagai bupati, walikota, hingga DPR RI. Herannya, masih berani pula mereka berjanji-janji, padahal rakyatnya banyak yang miskin merana dan tak punya akses atas kehidupan yang layak.

Ah, kekuasaan memang kerap menenggelamkan sisi kemanusiaan. Demi meraih kursi kuasa, seseorang rela melakukan apa saja. Mereka yang memasuki arena politik, serupa gladiator yang bersiap menghunus pedang. Selain beradu ketahanan mental dan kelihaian, hal yang sangat penting tentulah menyangkut anggaran. Untuk memenangkan pertarungan politik, miliaran, bahkan triliunan uang rela dihamburkan.

Suatu hari, saya pernah berdiskusi dengan seorang politisi. Ia menuturkan bahwa demi menjabat sebagai anggota dewan, dirinya bahkan mengucurkan uang hingga miliaran rupiah. Dalam dunia politik, nominal sebanyak itu bukanlah jumlah yang fantastis. Sebab, bagi mereka yang terjun ke dalam rimba raya politik, mereka terlebih dahulu harus membangun satu pasukan yang siap berjibaku demi kemenangan.

Seorang doktor lulusan Ohio University pernah menulis tentang politik sebagai industri. Yang ia maksud dengan industri adalah satu mekanisme atau mata rantai yang melibatkan banyak bagian, dan masing-masing bagian itu saling membutuhkan. Lihat saja mereka yang bertarung di arena pilkada. Mereka di-backup oleh banyak tim, mulai dari tim citra, tim akademis, tim preman, hingga tim pemasang baliho.

Jika kita memiliki akses pada satu tim sukses, marilah kita hitung berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk menggerakkan mesin politik itu. Apakah semiliar? Rasanya, dana semiliar tak akan cukup untuk pilkada. Terlebih untuk konteks pilkada kekinian yang dikenal memuat begitu banyak kepentingan serta cost yang terlampau tinggi. Uang menjadi benda wajib yang dikucurkan demi melenggang ke tangga kuasa. Politik butuh modal. Minimal untuk memanaskan mesin politik atau mengalirkan energi pada setiap sendi agar mesin itu terus bekerja.

Entah kenapa, saya tak pernah percaya pada proses politik bernama pilkada. Terlebih pada tim sukses. Mereka ibarat para penyabung ayam yang menjelang pertandingan sibuk mengelus-elus jagoannya. Pilkada tak ubahnya sebuah permainan kartu. Pada akhirnya, mereka yang menang akan sukses dan memanen rezeki, sedang yang kalah akan menangis sejadi-jadinya ketika membayangkan uang yang terlanjur dibelanjakan.

Pilkada memang selalu bisa diinterpretasikan dari banyak sisi. Bagi rakyat, pilkada sudah barang tentu adalah ajang mendengarkan janji-janji surga. Bagi politisi, pilkada adalah peluang untuk menancapkan kekuatan. Bagi birokrat, pilkada adalah rasa was-was apakah kelak, posisinya akan digeser ataukah tidak. Bagi pengusaha, pilkada adalah arena untuk memasang taruhan dan siap-siap memanen keuntungan berlipat jika menang. Bagi preman, pilkada adalah saat yang tepat untuk memanen duit lewat kerja-kerja intimidasi.

Bagi saya, pilkada itu lebih kejam dari perempuan. Sebab, untuk kesekian kalinya kita memelihara harapan yang kuat sebelum akhirnya dipatahkan oleh para centeng-centeng kelas kancil serta pemimpin yang pongah atas sederet prestasinya, namun minim pengabdian kepada masyarakat.

Menurut kalian, pilkada itu bagaimana?

Mataram, 21 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k