Langsung ke konten utama

Mengapa Ada Negara Kaya dan Negara Miskin?

Mengapa negara gagal?

Salah satu buku ekonomi makro yang selalu menarik untuk di baca adalah Why Nations Fail, yang diterjemahkan dengan judul Mengapa Negara Gagal. Penulisnya, Daron Acemoglu dan James A. Robinson adalah dua profesor di MIT dan Harvard University yang berhasil menggabungkan berbagai sintesis ide demi membangun argumentasi atas pertanyaan mengapa ada negara yang makmur dan negara yang jatuh miskin.

Terus terang, saya tak hanya menyenangi gaya penulisan buku ini yang sederhana, tetapi juga begitu kagum dengan banyaknya data, literatur, serta kajian di dalamnya. Melalui buku ini, penulis hendak membantah sejumlah teori tentang kesenjangan kemakmuran antar negara sebagaimana yang pernah dibentangkan para pemikir dunia seperti Montesquieu, Max Weber, hingga Lionel Robbins.

Menurutnya, fenomena kesenjangan kemakmuran yang terjadi saat ini tidaklah disebabkan oleh faktor geografi, budaya, maupun kebodohan pemimpin. Melainkan disebabkan oleh institusi ekonomi dan politik, berikut tata hukum atau perundangan yang mempengaruhi mekanisme ekonomi dan insentif bagi rakyat.

Pokok pembahasannya adalah perbedaan antara institusi ekonomi ekstraktif dan inklusif. Ekstraktif mengedepankan upaya memeras, mengeruk, menyadap, dan menghisap kekayaan satu lapisan demi memperkaya lapisan lainnya. Sedangkan inklusif adalah menciptakan pasar yang berkeadilan, memberi kebebasan bagi rakyat untuk memilih pekerjaan, serta menyediakan arena persaingan yang adil bagi siapa saja untuk berkompetisi.

Demikianlah pendekatan yang dilakukan dalam menjelaskan fenomena kesenjangan kemakmuran yang terjadi di Korea Utara dan Korea Selatan, Nogales Arizona yang masuk kawasan Amerika Serikat dan Nogales Sonora yang masuk kawasan Mexico. Metode serupa juga ikut menerangkan mengapa kebanyakan negara di bagian Sub Sahara Afrika memiliki tingkat kemakmuran yang sangat kontras jika dibandingkan dengan tetangga-tetangga mereka di kawasan Amerika, Eropa dan Asia Timur.

Demi menjelaskan institusi ekonomi dan politik, dua sejawat itu menelaah sejarah berbagai negara. Mereka hendak menunjukkan kalau di tangan penguasa yang lalim dan serakah, masa depan satu bangsa bisa menjadi kian terpuruk. Kekuatan terbesar dari negara-negara maju terletak pada kesadaran kolektif warga negaranya untuk menghadirkan solusi atas dinamika yang terjadi, melalui istitusi dan kelembagaan.

Mereka yang memiliki visi, akan membangun kelembagaan yang demokratis dan adil bagi semua warga negara serta memberikan ruang bagi siapapun untuk mengakses kebebasan. Sebaliknya di tangan mereka yang picik dan haus kuasa, kelembagaan akan direkayasa sedemikian rupa demi mempertahankan posisi dan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan.

Di satu bagian, ada pembahasan tentang perekenomian Venesia yang maju pada tahun 810 Masehi sebab ditopang oleh institusi ekonomi inklusif yang canggih pada masanya. Setelah itu, terjadilah huru-hara politik, diikuti upaya dari segelintir elit untuk melancarkan siasat isolasi ekonomi dan ingin berkuasa penuh, yang akhirnya turut mengantarkan negeri asal pedagang legendaris, Marco Polo itu ke lubang keterpurukan.

Di akhir pekan, membaca buku seperti ini tentu amat mengasyikkan. Saat membacanya, kita serasa tengah melakukan penjelajahan ke berbagai negara, bertemu banyak tokoh, serta mengamati berbagai peradaban yang pernah berjaya di masa silam. Kita di ajak untuk merangkum semua lintasan panjang itu demi menjelaskan mengapa ada negara kaya dan negara miskin.

Ini hanyalah rangkuman sederhana yang coba saya tuliskan tentang buku ini. Tentu masih banyak hal yang tak bisa saya jelaskan secara detail dan mendalam, sehingga membuat Why Nations Fail layak mengisi top list bacaan anda.

Mataram, 23 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k