![]() |
Ayam berlarian |
Semalam, seorang sahabat mengundang saya berdiskusi seputar isu kedaerahan. Tanpa banyak pertimbangan, saya pun segera memenuhi permintaannya. Diskusi ringan itu membahas beberapa persoalan. Mulai dari kabar tak sedap perihal pembatalan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa, hingga fenomena asrama mahasiswa Sumbawa di Mataram.
Di sela-sela diskusi, sahabat itu mulai menceritakan kegelisahannya perihal nasib bangunan tua yang dulunya menjadi sentra perkumpulan ribuan mahasiswa Sumbawa di Mataram. Setelah enam tahun paska bangunan itu terbakar, tak ada respon dari pemerintah. Tak ada etikat baik untuk merenovasi bangunan itu. Atau, minimal memberikan sekretariat sementara sebagai penggantinya.
Sebenarnya, sejak dulu saya sudah berusaha membuka keran komunikasi dengan pemerintah terkait permasalahan ini. Melalui salah satu paguyuban mahasiswa Sumbawa di Mataram, para sahabat aktivis juga getol menyuarakan hal serupa. Pernah kita menyurati Dewan Perwakilan Rakyat di Kabupaten, pernah pula kita bertemu salah satu pejabat tinggi daerah, lalu membicarakannya. Sayang, sampai hari ini pun, wacana untuk merenovasi bangunan asrama itu tak kunjung terlaksana.
Padahal, keberadaan sebuah asrama mahasiswa sangatlah penting. Di bangunan bernama asrama, mereka yang berasal dari daerah-daerah tak hanya bisa tinggal dan saling berinteraksi, tetapi juga bisa saling bertukar ide dan gagasan melalui forum-forum diskusi yang dengan mudah digelar setiap harinya. Selain di lingkungan kampus, asrama adalah tempat penyemaian pikiran-pikiran besar demi kemajuan daerah.
Terbukti, mereka yang sekarang menempati posisi strategis di Kabupaten Sumbawa, dulunya pernah menghabiskan banyak waktu di asrama itu. Hanya saja, tak semua mau bersimpati, lalu melakukan sesuatu saat mengetahui kondisi bangunan yang dulunya menjadi tempat tinggal itu kini lebih mirip kandang ayam.
Entah kenapa, hati saya selalu teriris ketika melintasi area bangunan asrama mahasiswa Sumbawa di Mataram. Kini, bangunan itu tak lagi terawat. Yang tersisa hanyalah puing-puing lapuk akibat amuk si jago merah beberapa tahun lalu. Pada gerbang yang bertuliskan Wisma Lalu Mala Syarifuddin itu, selalu dipenuhi sampah dan rumput-rumput liar.
Andai saja sosok yang disebut-sebut sebagai Doktor pertama di NTB itu bisa bangkit dari kuburnya, apakah gerangan yang akan dikataannya? Jika ia melihat kondisi wisma yang didirikannya begitu memperihatinkan, apakah gerangan reaksinya? Ataukah ia akan seperti seorang pemimpin di seberang sana yang senang mengumbar janji, acuh tak acuh, serta selalu sibuk mengurusi dirinya sendiri? Entahlah.
Saya berharap, pemerintah tidak amnesia pada janji-janji politik saat kampanye dulu, serta tetap fokus pada program skala prioritas menyangkut infrastruktur. Untuk itu, seharusnya tak perlu banyak pertimbangan untuk segera merenovasi Wisma Samawa, mengingat basis terbesar mahasiswa Sumbawa yang hidup diperantauan itu ada di Mataram.
Di akhir diskusi, saya menekankan bahwa perlunya satu sikap kesadaran kolektif dari semua pihak, termasuk seluruh mahasiswa Sumbawa di Mataram untuk ikut ambil bagian demi memperjuangkan masalah ini. Sebab, jika berlarut-larut, para generasi selanjutnya tentu akan bernasib sama. Orang bijak mengatakan, tinggalkanlah mata air, bukan air mata.
Mataram, 22 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar