Langsung ke konten utama

Saat Tere Liye Memilih Berhenti Mencetak Buku

Tere Liye (sumber foto: idwriters.com)

Tak ada kabar yang paling mengejutkan minggu ini selain pemutusan hubungan kerjasama Tere Liye dengan Republika dan Gramedia. Salah satu penulis paling produktif di negeri ini akhirnya migrasi ke media digital. Ia memilih membagikan buku serta catatannya melalui halam pribadi facebook ketimbang mencetak ulang di toko buku.

Baru-baru ini, Tere Liye mengumumkan kabar menyedihkan di media sosial terkait karir kepenulisannya. Ia memutuskan untuk berhenti mencetak buku-bukunya. Buku-buku yang masih beredar di pasaran, dibiarkan habis secara alamiah. Hal ini dilakukan demi menanggapi perlakuan pajak pemerintah yang tidak adil terhadap profesi penulis. Walhasil, secara otomatis buku-buku karya Tere Liye tak bisa lagi dijumpai di toko buku. Kalaupun ada, maka dapat dipastikan itu adalah bajakan.

Keputusan Tere Liye untuk tak lagi mencetak buku-bukunya bukan berarti bahwa dia berhenti menulis. Seorang penulis akan tetap menulis meski di atas daun sekalipun katanya. Namun, saya tetap merasa sedih. Rasanya ada selapis kenyataan pahit yang tak mudah diterima. Memang, penulis asal Sumatra itu masih tetap berkiprah dengan memproduksi berbagai catatan melalui media sosial. Tapi, berhentinya seorang penulis menerbitkan buku akan menghilangkan satu mata rantai keilmuan.

Bagaimanapun juga, buku terbaik adalah buku yang diterbitkan. Sebaik apapun sebuah buku, jika tak pernah terbit, maka pastilah buku itu akan tenggelam dalam lipatan sejarah. Seiring waktu, buku digital memang banyak bertaburan, lalu secara perlahan hendak mengubah lanskap pengetahuan di era modern. Tapi tetap saja tak bisa menggerus keberadaan buku cetak yang sedari dulu telah menjadi tonggak peradaban literasi. Saya pun lebih meresapi kenikmatan saat membaca buku cetak dibanding buku digital.

Biarpun Tere Liye mengklaim diri tetap eksis, sebab tetap akan memproduksi buku dan berbagai catatan di ranah digital, saya tetap merasa kehilangan. Ia adalah penulis dengan segudang karya. Saya mengagumi produktivitas serta kemampuannya menulis. Ia adalah tipe pengarang yang bergelut dengan riset dan data. Sehingga tak jarang, buku-bukunya laris di pasaran.

Tere Liye memang tak serupa Seno Gumira Adjidarma yang mampu menulis dalam berbagai genre. Tapi ia adalah pendatang baru yang berhasil menyajikan satu bacaan menarik yang menyasar kaum muda. Ia menulis novel berjudul “Tentang Kamu” dan melakukan riset hingga Pulau Bungin, Sumbawa. Ia menulis “Hafalan Shalat Delisa” serta “Moga Bunda Disayang Allah” yang lalu kisahnya diangkat ke layar kaca.

Tak bijak pula menyalahkan keputusan Tere Liye yang mengejutkan. Melalui akun pribadinya, Ia pun telah menulis curahan hati terkait sikapnya itu. Ia menilai, tarif pajak penghasilan atas royalti penulis sebesar 15% dianggap terlampau tinggi dan membebani. Padahal, para penulis pada umumnya hanya mendapat jatah royalti sebesar 10% dari hasil penjualan.

Kata penulis kondang itu, pungutan pajak yang dibebankan kepada penulis buku jauh lebih besar dibandingkan profesi dokter atau artis terkenal. Ia juga menyayangkan tidak adanya respon dari pemerintah terkait hal ini. Meskipun ia mengakui bahwa telah berkali-kali menyurati lembaga berwenang. Hal ini membuatnya terpaksa memilih untuk menghentikan pencetakan buku-bukunya.

Kutipan Curahan Hati Tere Liye di Halam Resmi Facebook

Entah kenapa, pemerintah kita tak selalu serius memandang masalah literasi sebagai sesuatu yang harus dibenahi. Pemerintah kita terlampau fokus pada hiruk pikuk politik hingga melupakan satu bagian yang teramat mendasar demi peradaban bangsa yang lebih baik. Pemerintah kita terlambat sadar bahwa geliat pembangunan hanyalah kesia-siaan semata tanpa geliat membangun tradisi literasi yang kokoh.

Buku itu ibarat sungai yang tak henti-hentinya mengalirkan ide, gagasan serta mata air inspirasi bagi banyak orang. Buku adalah lembar-lembar kearifan yang selalu menginspirasi dan mencerahkan generasi ke generasi. Setidaknya, penulis tak harus diberatkan oleh satu regulasi yang justru dapat menghalangi produktivitas mereka dalam melahirkan karya.

Berdasarkan studi Most Littered Nation In the World 2016 lalu, Indonesia bahkan masih bertengger di peringkat 60 dari 61 negara dalam literasi dunia. Sementara menurut data yang pernah dirilis oleh UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangatlah memprihatinkan, yakni hanya berkisar 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma ada 1 orang yang rajin membaca.

Saya tak terlalu terkejut dengan kondisi itu. Di berbagai penjuru tanah air, perpustakaan yang semestinya menjadi oase keilmuan hanyalah digunakan sebagai tempat pajangan buku yang sepi peminat. Perpustakaan tak dijadikan sentra pertemuan banyak komunitas dan segmen usia. Sehingga, memungkinkan peradaban dan segala aktivitas yang dibangun selalu terkait dengan buku-buku dan pengetahuan.

Yah, mungkin inilah jalan panjang yang harus di lalui oleh bangsa kita. Zaman memang terus bergerak. Di saat era internet telah membuat banyak penerbit menjadi lebih agresif demi menemukan orang yang berbakat dalam menulis, Tere Liye justru memilih menghentikan pencetakan karyanya karena alasan pajak. Menarik bukan?

Mari bayangkan sejenak, bagaimana jika aksi yang dilakukan Tere Liye diikuti oleh banyak penulis papan atas di negeri ini? Bagaimana jika buku-buku bercetak tebal terpaksa di ubah ke buku digital? Sanggup kah kita memandangi layar smartphone ber jam-jam lamanya hanya demi menuntaskan sebuah buku?

Ah, semoga saja tidak.

Mataram, 06 September 2017

Komentar

  1. Kalau saya punya pendapat pribadi, mungkin ini pendapat saya bisa benar dan bisa salah. Kalau menurut saya, sepertinya Tire Liye terlalu terburu-buru.
    Pemerintah saat ini jauh lebih baik dan mencoba untuk terbaik.
    Penulis sekarang juga terbantukan oleh pemerintah karena dibantu juga promosinya. Seharusnya penulis jangan berpandangan hari ini, tapi harus bisa jauh kedepan. Coba bandingkan dengan pak pram atau pak HAMKA, mungkin tantangannya jauh lebih besar.
    Sekali lagi, mungkin saya yang salah.

    BalasHapus
  2. Kenapa bukunya harus dicetak REPUBLIKA, jenapa gax GM aja terus. Cetakannya jd jelek, baru sy beli, 5 jam langsubg lepaas. Parah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masin Si Pedas Dari Timur Sumbawa

Indonesia di kenal sebagai negara dengan ragam kuliner yang melimpah. Hampir di setiap sudut negeri ini ada saja peganan masyarakat yang memikat lidah. Ada dodol di Garut, Rendang di Padang hingga Ayam Bakar Taliwang yang bisa anda jumpai di Lombok. Namun di balik tumpah ruah kuliner yang beraneka ragam, ada cerita tentang perjuangan masyarakat lokal dalam mematenkan kuliner dari daerahnya masing-masing. Hingga kuliner tersebut mampu menjadi branding daerah serta menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Jika di tempat lain pelbagai kuliner terlihat berupa jejajan ataupun makanan khas daerah, di Sumbawa terdapat jenis kuliner yang tidak biasa. Namanya Masin, bentuknya serupa sambal dan terbuat dari udang-udang kecil. Masin adalah menu yang wajib hadir di setiap hidangan masyarakat lokal Sumbawa. Masin yang bentuknya serupa sambal ini memiliki citarasa pedas yang menantang lidah. Masin ini pertama kali di populerkan oleh masyarakat Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa. Mereka beru...

Selapis Hikmah di Balik Konflik Etnis di Sumbawa

Konflik Sumbawa 2013 Setiap daerah tak hanya menyimpan kisah tentang kemajuan dan kemunduran, tapi juga menjadi rahim dari begitu banyak kisah yang dibuat oleh manusia-manusia yang berjejalan di dalamnya. Melalui kisah itu, kita bisa bercermin dan menemukan banyak pesan dan hikmah yang selalu bisa diserap untuk kehidupan mendatang. Sumbawa adalah titik balik dalam kehidupan saya. Beberapa tahun silam, saya selalu menjalani hidup dengan memakai sudut pandang sebagai korban. Suku Samawa yang mendiami Kabupaten Sumbawa adalah etnis yang begitu toleran. Mereka berbaur dengan banyak etnis lain secara terbuka dan penuh toleransi. Mbojo, Sasak, Bugis hingga Jawa. Tapi belakangan, tiba-tiba suku Bali datang mengganggu. Suku Samawa selalu dizalimi. Jadi wajar saja jika kami melawan balik untuk mempertahankan diri. Wajar saja kalau kami membalas. Saya selalu yakin bahwa setiap saat suku Samawa diusik dan diganggu, maka ketika ada kesempatan mereka harus mengusik balik, membalas. Say...

IKPPM dan Bagaimana Peranan Pemuda Dalam Masyarakat

IKPPM ( Ikatan Keluarga Pemuda Pelajar dan Mahasiswa ) merupakan organisasi paguyuban dari tiap-tiap kecamatan sekabupaten sumbawa dibawah naungan FKPPMS ( Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Samawa-mataram ) IKPPM merupakan sayap yang sempurna dalam hal mengembangkan potensi diri mahasiswa mengingat elemen masyarakat yang satu ini bebas dari kepentingan apapun. Tidak jarang juga jebolan-jebolan dari ikppm dapat berkiprah dengan baik di FKPPMS dan mampu bersaing ditingkat regional maupun nasional. Mengingat pentingnya peranan pemuda dalam kehidupan bermasyarkat ikppm merupakan refresentatif masyarakat dan diharapkan mampu secara terus-menerus melahirkan generasi-generasi yang nantinya akan menjadi pilar-pilar tangguh yang akan terus membangun dan ikut berpartisipasi dalam hal pembangunan daerah. IKPPM adalah organisasi struktural yang mewakili setiap kecamatan sekabupaten sumbawa, secara formal ataupun non formal setiap mahasiswa akan tergabung dalam organisasi ini sesu...