![]() |
Ilustrasi |
Beberapa waktu lalu, saya berbincang ringan dengan salah seorang sahabat melalui messengger. Dia bekerja di Kedutaan Indonesia di Jerman. Kami memang sering bersua kabar. Menanyakan keadaan masing-masing. Kami sering berdiskusi tentang apa saja. Ketika sama-sama senggang, kami membahas banyak persoalan.
Tanpa di sengaja, obrolan kami masuk ke bahasan soal media sosial. Sahabat saya bercerita tentang teman sekantornya yang tidak memiliki akun media sosial apapun. Katanya, ia kerap terheran dengan berbagai kelakuan orang di media sosial. Dia tidak tahu apa yang ia hasilkan melalui aktivitas ini. Baginya, media sosial hanyalah mainan yang akan menghambat pekerjaannya.
Saya sudah terbiasa dengan pertanyaan ini.
“Kenapa saya harus membagikan foto saya saat makan, atau bepergian, apakah hanya untuk dilihat oleh orang lain?” Ada begitu banyak orang yang heran dengan perilaku manusia di dunia maya. Untuk apa itu semua?
Suka atau tidak, media sosial adalah kebutuhan sebagian orang. Kalau bukan kebutuhan, produk ini tidak akan bertatahan sebagai industri besar hingga saat ini. Namun sebagaimana produk lain, tentu saja ada yang tidak membutuhkannya. Itu juga sudah biasa.
Tapi pertanyaan di atas tadi penting untuk dijawab. Untuk apa kita membagikan foto saat kita makan? Atau, makanan yang kita makan? Untuk apa pula kita membagikan foto bersama orang terdekat kita? Atau, foto kita saat liburan?
Jawabannya bisa beragam. Kadang kita ingin memamerkan kebahagiaan kita, atau keberadaan materi kita. Ada juga yang ingin memamerkan, dengan siapa saja dia bergaul. Baik dengan kalangan elit, maupun dengan kalangan pinggiran, keduanya ingin memamerkan. Kita sedang membangun citra diri. Ada yang mencitrakan dirinya sebagai orang sukses dan kaya. Ada pula yang membangun citra sederhana, bahkan darmawan.
Tapi, inilah yang disebut dengan proses membangun citra. Membuat frame untuk mempengaruhi pandangan orang lain. Lalu pertanyaannya, apakah membangun citra itu sebuah masalah? Tentu tidak. Membangun citra, itu hal yang biasa saja. Dalam kehidupan keseharian pun, kita sedang membangun citra.
Yang tidak bagus adalah membangun citra palsu. Orang miskin berlagak kaya. Korup, tapi sok suci. Atau, membangun citra yang berlebihan. Tapi tidak sedikit juga orang yang sekadar menjadikan media sosial sebagai tempat berbagi kabar dengan teman, atau sanak saudara.
Bagi saya, bagian terpenting adalah bagaimana menjadikan media sosial sebagai tempat untuk mengevaluasi nilai-nilai yang kita anut. Persis seperti saat bergaul di dunia nyata, di mana kita hidup dengan nilai, dalam interaksi, kita mengubah nilai kita, atau membuat orang lain mengubah nilainya.
Dalam media sosial, saya banyak membuat posting tentang nilai yang saya anut. Misalnya soal kesadaran sosial, lingkungan, pendidikan, kerelawanan, kepemudaan dan sebagainya. Saya posting berbagai kegiatan, kemudian saya berbagi pengetahuan tentang aktivitas itu, apa yang kita lakukan, atau semua yang terkait dengannya.
Demikian pula saat bepergian. Saya berbagi informasi tentang tempat liburan, kuliner, hingga berbagai keunikan satu destinasi yang bisa memantik antusiasme banyak orang untuk berdatangan. Ya, hitung-hitung membantu pemerintah dalam agenda promosi wisata.
Tapi, seperti yang saya ceritakan di atas, saya juga narsis. Namanya juga manusia biasa. Saya kerap membangun citra, pamer dan sebagainya. Hal-hal yang biasa dilakukan banyak orang di media sosial.
Ingat, media sosial adalah tempat di mana orang bisa melihat kita. Dalam istilah keren, ini adalah tempat untuk melakukan personal branding. Maka, saya membiasakan diri untuk menghasilkan dan membagikan gagasan di dalamnya. Saya berharap orang akan mengenal saya melalui gagasan itu.
Saya menikmati hasil dari kegiatan di media sosial. Saya menjadi terbiasa menulis. Menyebarluaskan gagasan di berbagai media online, membuat artikel, menghasilkan opini, yang sesekali diterbitkan melalui media cetak. Bahkan, ada yang mengajak saya mengelola satu kanal informasi berbasis web, lalu menghasilkan uang dari sana.
Nah, menurut saya, penting bagi setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, apa yang dia hasilkan dari aktivitas sosial media. Sayang jika kemewahan teknologi yang sedemikian maju ini, tak dimanfaatkan dengan baik.
Mataram, 26 Mei 2017