![]() |
Two Books From George Orwell |
Selalu saja ada kekaguman pada sastrawan George Orwell. Setiap buku yang dihasilkannya selalu membahas tema-tema sosial yang rumit, namun dikemas dalam kalimat-kalimat sederhana. Bayangkan saja, sebuah fenomena besar tentang totalitarianisme Uni Soviet mampu ia sajikan dalam bentuk novel alegori satiris berjudul Animal Farm.
Dalam novel yang pertama kali terbit pada tahun 1949 itu, Orwell bercerita tentang pergolakan politik kekuasaan serta sistem pemerintahan totaliter yang dibangun Soviet. Dia menganalogikannya dengan kisah sekelompok hewan peternakan yang melakukan pemberontakan pada ras manusia demi mencapai kesetaraan hidup dan kemerdekaan.
Namun, kesetaraan yang seharusnya menjadi cita-cita bersama para binatang itu tak berlansung lama. Semua hanya sebatas euforia semata. Bangsa babi yang awalnya dipercayakan menjadi pemimpin peternakan karena lebih unggul dalam hal kapasitas dibanding yang lain, ternyata berhianat.
Atas nama bekerja keras dan mengelola peternakan, para babi diberikan hak istimewa. Mereka mendapatkan makanan yang lebih enak dan banyak, tempat yang lebih layak, dan beberapa hal lain yang menguntungkan bangsa mereka sendiri. Sementara para binatang lain tetaplah memproduksi segala jenis kebutuhan peternakan untuk lima persen kehidupan mereka. Sisanya dikuasai penuh oleh Napoleon, babi gendut sang penguasa peternakan binatang.
Animal Farm merupakan salah satu karya terbaik Orwell. Novel ini membuat namanya kian dikenal. Bahkan beberapa waktu lalu, beredar kabar bahwa novel ini kembali laku keras dipasaran. Berita itu dimuat oleh Antara News, edisi Kamis, 26 Januari 2017.
Setelah sebelumnya menyelsaikan Animal Farm, kini saya kembali hanyut saat mengikuti perjalanan Orwell di Inggris. Perjalan itu berisikan catatan tentang kemiskinan, penggangguran, kehidupan pekerja tambang, hingga bentuk pertentangan kelas di Inggris yang sangat menajam.
Melalui catatan perjalanan ini, Orwell pun kemudian melahirkan gagasannya mengenai pertentangan kelas sosial antara kaum borjuis dan proletar, serta lahirnya peradaban mesin dengan bentuk indistrialisme yang menyertakan lahirnya sosialisme.
Benang merah dari kedua karya ini adalah sama-sama mengandung kritikan tajam dan menukik. Jika dalam Animal Farm, penulis kelahiran India itu lebih banyak berbicara tentang paktik-praktik pemerintahan rezim bengis yang tengah berkuasa, maka dalam buku setebal 258 halaman berjudul The Road to Wigan Pire ini, ia memokuskan catatannya terhadap orang-orang sosialis.
Buku itu menjelaskan kerasahan Orwell terhadap gagalnya sosialisme, lalu dengan berani mengungkapkan pandangannya sendiri tentang paham tersebut. Ia berpendapat bahwa sosialis yang sesungguhnya adalah seseorang yang secara aktif ingin melihat tirani dihancurkan namun tidak sebatas membayangkan itu sebagai hal yang diinginkanya.
Di banyak bagian, saya menandai beberapa pandangan Orwell tentang betapa pertentangan kelas sosial di inggris pada dasarnya mewakili pertentangan kelas sosial yang terjadi di setiap lapisan masyarakat. Bahkan hingga saat ini, ketika kabut gelap totalitarianisme perlahan bergeser pada harapan hidup setara dalam kemewahan demokrasi, sebuah pertentangan sosial tak begitu sulit ditemukan.
Di Indonesia, di tengah demokrasi yang telah berjalan puluhan tahun ini, pertentangan-pertentangan sosial masih teramat nyata. Hal ini kemudian berimbas pada merosotnya nilai-nailai persamaan hak dimuka hukum. Sehingga, impian tentang sebuah negara yang menjamin keadilan bagi segenap rakyatnya belum juga tercapai.
Jika benar demokrasi itu adalah cita-cita suci demi menggapai perubahan bersama, mengapa masih banyak yang merasa dikreditkan? Mengapa pula para kelas menengah itu nampak acuh pada kami kaum hambasaya? Atau apa mereka dan kami memang berbeda? Jika benar demokrasi itu menjamin keamanan setiap warga negara, mengapa para tukang kepret yang berbekal surat dari negara itu merasa berhak mementung dan menghardik para pedagang dan buruh di pasar-pasar sana?
Jika benar demokrasi itu adalah hadirnya negara dalam setiap permasalahan rakyat, lalu dimana negara saat para pejabat brengsek dengan seenaknya merampas tanah petani lalu menjualnya ke korporasi bangsat dalam satu siklus kongkalikong perizinan? Dimanakah negara saat perusahaan-perusahaan yang entah datang dari mana tiba-tiba mengusir kami dari atas tanah nenek moyang kami yang diwariskan turun-temurun?
Ah, sudahlah. Bagi kami, semua yang kerap kalian sebutkan dilayar kaca itu hanyalah ilusi dan omong kosong belaka. Kami memilih untuk tetap melawan. Layaknya Orwell yang selalu gelisah, lalu melahirkan berbagai catatan kritis, kami pun akan tetap menjaga nilai-nilai kritis dalam diri guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Harapan-harapan kami akan selalu ada, sebab kami masih memiliki ide-ide untuk perubahan, serta kebaikan yang akan terus tumbuh bak mawar di tengah reruntuhan.
Melalui ide-ide itu, kami berharap negeri ini akan selalu lebih baik. Indonesia akan selalu tersenyum, layaknya senyuman saya pagi tadi saat membaca tulisan kritis seorang siswi SMA tentang perbedaan pandangan politik antar kelompok, hingga berpotensi memecah belah persatuan.
Mataram, 24 Mei 2017
Beratttt bacaannya tuan rumah ini. KIta mah apa.. bacanya cuma supernova :D :D
BalasHapusLama tidak mampir ke sini setelah lama off, btw blog baru gan imron.
BalasHapusHanya templatenya yang baru hihi
Hapusaku belum pernah baca ini cuma cerita nover Burmese Days dari George Well aku suka, pas ceritain daerah2 di Sungai Irawaddi
BalasHapusberat sih emang.