
Si Bocah: " Minta uang 2 ribu buat jajan dong om. ( Sambil mengulurkan tangannya) "
Saya: " Sini sebentar, duduklah disamping saya "
Si bocah: " Ngak om saya mau pulang! Saya minta uang nya 2 ribu om. (mengulangi lagi) "
Saya: " Saya akan memberi kamu uang sebanyak 5 ribu dengan catatan kamu tidak akan minta uang lagi sama orang lain. apalagi orang yang baru kamu kenal. gimana? ( Aku sambil mengeluarkan pecahan 5 ribu dari saku celanaku) "
Si Bocah: " Iya om saya janji (sambil senyum malu-malu) "
Sebelum dia pergi aku bersalaman dengannya sebagai tanda perjanjian bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi dikemudian hari. Semoga bocah tersebut menepati janjinya kepadaku.
Hiruk-pikuk perayaan kemerdekaan masih begitu terasa di berbagai sudut negeri ini. Upacara dan berbagai kegiatan semacam hiburan menjadi titik puncak bentuk penghargaan masyarakat dalam mengapresiasi jasa para pahlawan yang telah berhasil mengusir kompeni dari bumi pertiwi.
Namun benarkah kata MERDEKA itu pantas tersematkan? Flashback pada kejadian awal bulan ini, dimana postingan foto seorang pengemis yang pura pura buntung menjadi viral di dunia maya. Adalah Alexander, pengemis yang terkena razia Dinas Sosial tepatnya di depan toko An Nur, jalan Otista Bandung (5/8). Dua petugas meminta Alexander melepaskan rompi yang membelit tubuh bagian atasnya, hingga menampilkan kondisi kedua tangan yang sebenarnya jauh dari kata cacat.
Masalah pengemis sejatinya bukanlah hal baru. Bak jamur di musim hujan, keberadaan mereka sangat mudah ditemui di lampu-lampu merah. Anak anak dan usia lanjut adalah kalangan mayoritas, meski terkadang pemuda dengan usia produktif pun turut mendominasi.
Sungguh miris. Permasalahan ekonomi pada akhirnya mampu menyeret manusia menuju jurang kesesatan dalam berpikir. Berbagai macam cara dilegalkan, dihalalkan demi menunjang terpenuhinya kebutuhan hidup. Seolah belum cukup hanya dengan mengemis, mereka juga tidak segan mengelabui masyarakat untuk menarik simpati.
Disadari atau tidak, penipuan adalah kriminalitas yang seringkali terjadi di negeri ini. Ijazah palsu untuk memudahkan mencari pekerjaan atau menjabat posisi tertentu. KTP palsu untuk mendukung partai politik yang turut dalam pemilihan umum. Kemudian terakhir adalah kasus vaksin dan serum palsu. Lantas benarkah ini yang dikatakan ‘merdeka’? Sesungguhnya karakter kita sama sekali belum merdeka.
Metode Revolusi Mental yang dulu digaungkan sang pemangku amanah pun belum nampak realisasinya. Padahal jika konsep tersebut benar-benar dijalankan dengan jujur niscaya bangsa ini akan benar-benar nampak sebagai bangsa yang besar. Bayangkan apa yang terjadi pada karakter masyarakt kita, sampai menjadi pengemis pun mereka berani membohongi orang. Apakah karakter seperti ini yang diharapkan oleh pendiri-pendiri bangsa kita?
Fakta memilukan di atas seharusnya mampu menyadarkan masyarakat bahwa sistem KAPITALISME lah sumber dari kekacauan kita sekarang ini. Sistem ekonomi ini hanya memfokuskan diri pada keberhasilan para pemilik modal, dimana penguasa dan pengusaha adalah dua tokoh utamanya. Simbiosis mutualisme yang mereka lakukan nyatanya mampu memproduksi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi masyarakat. Dari sinilah melonjaknya angka kriminalitas diturunkan, nilai fitri manusia dihancurkan. Sistem ini juga membiarkan rakyat bertarung sendiri menghadapi kehidupan. Negara hanya sebagai regulator yang minim akan tindakan.
Pemecahan atas permasalahan ini dengan jalan pengentasan kemiskinan tentu tidaklah cukup, terlebih jika masih dilakukan dengan bersandar pada paradigma kapitalis liberal. Langkah awal yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem pendidikan kita. Menanamkan sikap menjaga iffah/kehormatan diri dari meminta minta. Sehingga mampu memacu semangat mereka untuk lebih berusaha dalam upaya pemenuhan nafkah.
Dalam kehidupan berkeluarga, masing masing dianjurkan untuk menjamin kehidupan anggota keluarga yang lain. Seperti kewajiban anak atas orangtua, anak laki laki baligh atas saudara perempuannya. Kemudian pemahaman tentang sifat taawun juga wajib disampaikan kepada masyarakat mengingat point inilah yang nantinya mampu menyadarkan manusia untuk lebih dulu mengulurkan tangan bahkan sebelum oranglain meminta.
Hal-hal seperti inilah yang patut disampaikan pada saat proses belajar mengajar dan terus digalakkan guna membentuk karakter anak. Jika dua pilar di atas masih tidak mampu mengatasi, maka tanggung jawab tersebut dialihkan ke negara. Yang mana negara harus meriayah, memberi solusi, menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya dan mengondisikan sikap kemandirian dalam diri mereka melalui tahapan-tahapan tertentu dan program-program kreatif sehingga terciptanya lapangan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat.
Mataram, 24 Agustus 2016
Berarti di indonesia ini belum sepenuhnya merdeka terutama mereka yang mengemis dan seperti 2 bocah itu dan salah seorang yang berpura-pura cacat demi menimba rasa iba orang lain.. Kalau sudah begini siapa yang brtanggung jawab ya kang ?
BalasHapusTanggung Jawab bersama mas :)
HapusSistem negara kita yang harus disalahkan.
BalasHapusSemoga kita segera berbenah
Hapusbaikknya oom ini ngasih uang 5000 :)
BalasHapushati oom ini udah merdeka.
anak itu hrus di merdekakan tuh om,,
Jangan om donk mba ketauan.. Saya kelahiran 94 mba =(
HapusSeluruh atau yang berada di dunia ini sitemnya kapital. Yang lemah ditindas dan dikacaukan. Uang sudah menjadi raja. Kekuasaan tanpa uang jangan harap bisa langgeng. Gejolak pasti akan merajalela.
BalasHapusSebenarnya tidak ingin mengemis jika ekonomi bisa merata.
Sebenarnya bisa diperbaiki dengan sistem pendidikan yang baik mas.. Saya banyak belajar dari revolusi mental masyarakat india. India bangkit dari keterpurukan melalui revolusi karakter mas. Semoga indonesia bisa amin :)
HapusDuh ini nih kang membuat saya kesal dan juga kadang merasa kasihan dengan mereka tapi kalau menurut saya mah banyaknya pengemis itu disebabkan memang karena ekonomi yang kurang mendukung tapi juga kalau menurut saya mah karena orang indonesia itu terlalu kasihan sama pengemis jadi pengemis itu makin tertarik lagi untuk ngemis karena selalu dikasih sebenarnya kalau digak dikasih juga salah tapi kalau dikasih terus kan makin banyak juga yang menjadi pengemis.
BalasHapusMending menjadi pengemis karena beneran ekonominya terjepit mas. Ini sampai yang masih sehat wal afiat juga ikutan.
HapusIya sih kang, tapi tidak ada salahnya untuk mengerjakan pekerjaan lain selain ngemis karena sekarang sudah banyak orang yang maaf kurang secara fisiknya mampu mengerjakan sesuatu yang hampir sama dengan orang yang mempunyai anggota fisik yang lengkap dan mereka benar benar bisa. :D
HapusTulisannya tajam dan akurat, kang :) enak dibaca pula.
BalasHapusMenurut saya sih, persoalan utamanya ada di "ke-gratis-an" sebuah pendidikan. Coba deh, kalo pengen ilang, gratisin sekolah. Tapi harus 100% gratis, kagak setengah2 kayak sekarang. Tapi di sisi lain saya juga menyayangkan sistem ekonomi negara ini :)
Iya. Benar sekali mas. Mengingat ekonomi kita sedang carut-marut. Karena hampir setiap sudut bangsa ini sudah dikuasai asing.
HapusItu masih lumayan mas, pengemis jalanan yang dikasih 5ribu udah seneng. Belum pengemis yang mintanya milyaran dan cuma ongkang-ongkang doang. Kalau yang seperti itu tanggungjawab siapa ya, hehe
BalasHapusNah komentar seperti ini yang saya suka :D
HapusGue setuju dengan artikel diatas ^ . Beberapa waktu lalu emang ada kejadian pengemis yang berpura pura "buntung" kaki nya tersebut. Untung waktu itu sempat ketauan aksinya tersebut.
BalasHapusYang gue mau pertanyakan adalah , kenapa harus memakai cara seperti itu? kenapa ?
Sekarang generasi muda banyak yang berjatuhan . Hanya generasi muda yang taat dan jujur yang pasti tidak akan goyah dari pergantian zaman.
Generasi sekarang harusnya bisa membanggakan , meraih prestasi , dll .Tapi skarang udah beda. Termasuk mental pengemis ini lah udah banyak bertebaran.
Saya juga sepakat. Bukannya tidak mau memberi tapi kalau keseringan diberi juga kita telah melatih mereka menjadi malas
BalasHapusternyata masih banyak juga ya yang belum merdeka
BalasHapuskasian anaknya sebenarnya juga gak ngerti, kadang yang salah orang tuanya yang ngajarin kayak gitu.
BalasHapusKalau sudah kayak gini, siapa nih yg salah?
BalasHapuskita atau negara?
#tinggi banget yah nyalahinnya
Rejeki dan milik masing2 orang berbeda2 yg penting kita usaha cari rejeki yg halal dan thoyib ^o^
BalasHapusKasian nasib mereka, iya kalau betul dia orang yg kurang mampu.. meminta-minta sekedar buat makan, tapi kalau hanya dijadikan alat.. itu keterlaluan kan?
BalasHapusSuka bingung kalau kayak gini. Di satu sisi memang katanya ajaran Nabi itu jangan pernah kt y tangan meminta. Di sisi lain kemiskinan banyak. Tapi ini juga dimanfaatin. Byk orang yang akhirnya malas bekerja krn mengemis lebih besar penghasilannya. Serba salahnya, kalau ternyata memang yg ngemis itu betul-betul orang yg membutuhkan bagaimana? Bukan yg suka nipu2 itu. Jadi suka galau.
BalasHapusSetuju. Mental pengemis bukan perkara ekonomi semata. Juga bukan tanggung jawab pemerintah saja. "it takes a village to raise a children". Untuk mendidik 1 anak saja dibutuhkan orang sekampung. Karena lingkungan pun sejatinya turut mendidik mental mereka. Jadi, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat, mari ikut menjadi bagian membentuk lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak-anak di sekitar kita.
BalasHapus