Langsung ke konten utama

Keterbatasan Memaksa Mereka Menjadi Pengemis dan Penipu


Generasi Bermental Pengemis

Suatu ketika saya melakukan perjalanan dari kecamatan Empang menuju Mataram. Karena kelelahan berkendara, akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat sebentar di salah satu warung di kota Sumbawa Besar. Ketika sedang asiknya menikmati secangkir kopi tiba-tiba beberapa anak SD berlarian didepan saya. Satu diantara kerumunan anak SD tersebut berhenti dan berdiri tepat didepan saya sambil mengulurkan tangan. Diapun mulai mengajak saya bicara:

Si Bocah: " Minta uang 2 ribu buat jajan dong om. ( Sambil mengulurkan tangannya) "
Saya: " Sini sebentar, duduklah disamping saya "
Si bocah: " Ngak om saya mau pulang! Saya minta uang nya 2 ribu om. (mengulangi lagi) "
Saya: " Saya akan memberi kamu uang sebanyak 5 ribu dengan catatan kamu tidak akan minta uang lagi sama orang lain. apalagi orang yang baru kamu kenal. gimana? ( Aku sambil mengeluarkan pecahan 5 ribu dari saku celanaku) "
Si Bocah: " Iya om saya janji (sambil senyum malu-malu) "

Sebelum dia pergi aku bersalaman dengannya sebagai tanda perjanjian bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi dikemudian hari. Semoga bocah tersebut menepati janjinya kepadaku.

Hiruk-pikuk perayaan kemerdekaan masih begitu terasa di berbagai sudut negeri ini. Upacara dan berbagai kegiatan semacam hiburan menjadi titik puncak bentuk penghargaan masyarakat dalam mengapresiasi jasa para pahlawan yang telah berhasil mengusir kompeni dari bumi pertiwi.

Namun benarkah kata MERDEKA itu pantas tersematkan? Flashback pada kejadian awal bulan ini, dimana postingan foto seorang pengemis yang pura pura buntung menjadi viral di dunia maya. Adalah Alexander, pengemis yang terkena razia Dinas Sosial tepatnya di depan toko An Nur, jalan Otista Bandung (5/8). Dua petugas meminta Alexander melepaskan rompi yang membelit tubuh bagian atasnya, hingga menampilkan kondisi kedua tangan yang sebenarnya jauh dari kata cacat.

Masalah pengemis sejatinya bukanlah hal baru. Bak jamur di musim hujan, keberadaan mereka sangat mudah ditemui di lampu-lampu merah. Anak anak dan usia lanjut adalah kalangan mayoritas, meski terkadang pemuda dengan usia produktif pun turut mendominasi.

Sungguh miris. Permasalahan ekonomi pada akhirnya mampu menyeret manusia menuju jurang kesesatan dalam berpikir. Berbagai macam cara dilegalkan, dihalalkan demi menunjang terpenuhinya kebutuhan hidup. Seolah belum cukup hanya dengan mengemis, mereka juga tidak segan mengelabui masyarakat untuk menarik simpati.

Disadari atau tidak, penipuan adalah kriminalitas yang seringkali terjadi di negeri ini. Ijazah palsu untuk memudahkan mencari pekerjaan atau menjabat posisi tertentu. KTP palsu untuk mendukung partai politik yang turut dalam pemilihan umum. Kemudian terakhir adalah kasus vaksin dan serum palsu. Lantas benarkah ini yang dikatakan ‘merdeka’? Sesungguhnya karakter kita sama sekali belum merdeka.

Metode Revolusi Mental yang dulu digaungkan sang pemangku amanah pun belum nampak realisasinya. Padahal jika konsep tersebut benar-benar dijalankan dengan jujur niscaya bangsa ini akan benar-benar nampak sebagai bangsa yang besar. Bayangkan apa yang terjadi pada karakter masyarakt kita, sampai menjadi pengemis pun mereka berani membohongi orang. Apakah karakter seperti ini yang diharapkan oleh pendiri-pendiri bangsa kita?

Fakta memilukan di atas seharusnya mampu menyadarkan masyarakat bahwa sistem KAPITALISME lah sumber dari kekacauan kita sekarang ini. Sistem ekonomi ini hanya memfokuskan diri pada keberhasilan para pemilik modal, dimana penguasa dan pengusaha adalah dua tokoh utamanya. Simbiosis mutualisme yang mereka lakukan nyatanya mampu memproduksi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi masyarakat. Dari sinilah melonjaknya angka kriminalitas diturunkan, nilai fitri manusia dihancurkan. Sistem ini juga membiarkan rakyat bertarung sendiri menghadapi kehidupan. Negara hanya sebagai regulator yang minim akan tindakan.

Pemecahan atas permasalahan ini dengan jalan pengentasan kemiskinan tentu tidaklah cukup, terlebih jika masih dilakukan dengan bersandar pada paradigma kapitalis liberal. Langkah awal yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem pendidikan kita. Menanamkan sikap menjaga iffah/kehormatan diri dari meminta minta. Sehingga mampu memacu semangat mereka untuk lebih berusaha dalam upaya pemenuhan nafkah.

Dalam kehidupan berkeluarga, masing masing dianjurkan untuk menjamin kehidupan anggota keluarga yang lain. Seperti kewajiban anak atas orangtua, anak laki laki baligh atas saudara perempuannya. Kemudian pemahaman tentang sifat taawun juga wajib disampaikan kepada masyarakat mengingat point inilah yang nantinya mampu menyadarkan manusia untuk lebih dulu mengulurkan tangan bahkan sebelum oranglain meminta.

Hal-hal seperti inilah yang patut disampaikan pada saat proses belajar mengajar dan terus digalakkan guna membentuk karakter anak. Jika dua pilar di atas masih tidak mampu mengatasi, maka tanggung jawab tersebut dialihkan ke negara. Yang mana negara harus meriayah, memberi solusi, menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya dan mengondisikan sikap kemandirian dalam diri mereka melalui tahapan-tahapan tertentu dan program-program kreatif sehingga terciptanya lapangan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat.

Mataram, 24 Agustus 2016

Komentar

  1. Berarti di indonesia ini belum sepenuhnya merdeka terutama mereka yang mengemis dan seperti 2 bocah itu dan salah seorang yang berpura-pura cacat demi menimba rasa iba orang lain.. Kalau sudah begini siapa yang brtanggung jawab ya kang ?

    BalasHapus
  2. Sistem negara kita yang harus disalahkan.

    BalasHapus
  3. baikknya oom ini ngasih uang 5000 :)
    hati oom ini udah merdeka.
    anak itu hrus di merdekakan tuh om,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan om donk mba ketauan.. Saya kelahiran 94 mba =(

      Hapus
  4. Seluruh atau yang berada di dunia ini sitemnya kapital. Yang lemah ditindas dan dikacaukan. Uang sudah menjadi raja. Kekuasaan tanpa uang jangan harap bisa langgeng. Gejolak pasti akan merajalela.
    Sebenarnya tidak ingin mengemis jika ekonomi bisa merata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya bisa diperbaiki dengan sistem pendidikan yang baik mas.. Saya banyak belajar dari revolusi mental masyarakat india. India bangkit dari keterpurukan melalui revolusi karakter mas. Semoga indonesia bisa amin :)

      Hapus
  5. Duh ini nih kang membuat saya kesal dan juga kadang merasa kasihan dengan mereka tapi kalau menurut saya mah banyaknya pengemis itu disebabkan memang karena ekonomi yang kurang mendukung tapi juga kalau menurut saya mah karena orang indonesia itu terlalu kasihan sama pengemis jadi pengemis itu makin tertarik lagi untuk ngemis karena selalu dikasih sebenarnya kalau digak dikasih juga salah tapi kalau dikasih terus kan makin banyak juga yang menjadi pengemis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mending menjadi pengemis karena beneran ekonominya terjepit mas. Ini sampai yang masih sehat wal afiat juga ikutan.

      Hapus
    2. Iya sih kang, tapi tidak ada salahnya untuk mengerjakan pekerjaan lain selain ngemis karena sekarang sudah banyak orang yang maaf kurang secara fisiknya mampu mengerjakan sesuatu yang hampir sama dengan orang yang mempunyai anggota fisik yang lengkap dan mereka benar benar bisa. :D

      Hapus
  6. Tulisannya tajam dan akurat, kang :) enak dibaca pula.

    Menurut saya sih, persoalan utamanya ada di "ke-gratis-an" sebuah pendidikan. Coba deh, kalo pengen ilang, gratisin sekolah. Tapi harus 100% gratis, kagak setengah2 kayak sekarang. Tapi di sisi lain saya juga menyayangkan sistem ekonomi negara ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Benar sekali mas. Mengingat ekonomi kita sedang carut-marut. Karena hampir setiap sudut bangsa ini sudah dikuasai asing.

      Hapus
  7. Itu masih lumayan mas, pengemis jalanan yang dikasih 5ribu udah seneng. Belum pengemis yang mintanya milyaran dan cuma ongkang-ongkang doang. Kalau yang seperti itu tanggungjawab siapa ya, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah komentar seperti ini yang saya suka :D

      Hapus
  8. Gue setuju dengan artikel diatas ^ . Beberapa waktu lalu emang ada kejadian pengemis yang berpura pura "buntung" kaki nya tersebut. Untung waktu itu sempat ketauan aksinya tersebut.

    Yang gue mau pertanyakan adalah , kenapa harus memakai cara seperti itu? kenapa ?

    Sekarang generasi muda banyak yang berjatuhan . Hanya generasi muda yang taat dan jujur yang pasti tidak akan goyah dari pergantian zaman.

    Generasi sekarang harusnya bisa membanggakan , meraih prestasi , dll .Tapi skarang udah beda. Termasuk mental pengemis ini lah udah banyak bertebaran.

    BalasHapus
  9. Saya juga sepakat. Bukannya tidak mau memberi tapi kalau keseringan diberi juga kita telah melatih mereka menjadi malas

    BalasHapus
  10. ternyata masih banyak juga ya yang belum merdeka

    BalasHapus
  11. kasian anaknya sebenarnya juga gak ngerti, kadang yang salah orang tuanya yang ngajarin kayak gitu.

    BalasHapus
  12. Kalau sudah kayak gini, siapa nih yg salah?
    kita atau negara?

    #tinggi banget yah nyalahinnya

    BalasHapus
  13. Rejeki dan milik masing2 orang berbeda2 yg penting kita usaha cari rejeki yg halal dan thoyib ^o^

    BalasHapus
  14. Kasian nasib mereka, iya kalau betul dia orang yg kurang mampu.. meminta-minta sekedar buat makan, tapi kalau hanya dijadikan alat.. itu keterlaluan kan?

    BalasHapus
  15. Suka bingung kalau kayak gini. Di satu sisi memang katanya ajaran Nabi itu jangan pernah kt y tangan meminta. Di sisi lain kemiskinan banyak. Tapi ini juga dimanfaatin. Byk orang yang akhirnya malas bekerja krn mengemis lebih besar penghasilannya. Serba salahnya, kalau ternyata memang yg ngemis itu betul-betul orang yg membutuhkan bagaimana? Bukan yg suka nipu2 itu. Jadi suka galau.

    BalasHapus
  16. Setuju. Mental pengemis bukan perkara ekonomi semata. Juga bukan tanggung jawab pemerintah saja. "it takes a village to raise a children". Untuk mendidik 1 anak saja dibutuhkan orang sekampung. Karena lingkungan pun sejatinya turut mendidik mental mereka. Jadi, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat, mari ikut menjadi bagian membentuk lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak-anak di sekitar kita.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k