
Dari kejauhan, saya tidak melihat sejumput malu diwajahnya, bahkan dengan rasa percaya diri, dia berjalan perlahan mengitari panggung sambil sesekali mengibaskan pakaian adat yang ia kenakan. Saya yang ketika itu duduk diantara ratusan penonton, sempat larut dalam suasana. Ketika penampilanya berakhir, kembali lagi penonton bersorak diiringi tepuk tangan yang bergemuruh.
Gadis itu adalah mahasiswa dari Kecamatan Empang, dia menjadi salah satu perwakilan yang di delegasikan untuk menampilkan yang terbaik di mata lomba lagu daerah, pada kegiatan pordikani yang di adakan oleh Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sumbawa di Mataram.
Pekan Olahrga Pendidikan dan Seni atau lebih lumrah disebut Pordikani adalah alasan mengapa solidaritas mahasiswa Sumbawa di Mataram masih utuh hingga saat ini. Kegiatan ini secara rutin digelar dalam tempo 2 tahun oleh Fkppms. Setiap mahasiswa Sumbawa berhak ikut andil didalamnya.
Fkppms adalah paguyuban bersifat kekeluargaan yang menaungi 24 kecamatan di Sumbawa, paguyuban ini terbentuk atas dasar semangat kesukuan yang mengikat, mereka berfikir kemanapun langkah mereka diarahkan tetaplah sumbawa adalah tanah kelahiran mereka.
Semenjak menginjakan kaki di Mataram, saya telah dua kali menyaksikan kegiatan ini, di tahun pertama pada 2012 lalu, saya belum mengerti apa-apa, tak ada satupun makna yang dapat saya serap dari kegiatan ini, ketika itu saya membayangkan pagelaran seperti ini serupa festival atau ajang pencarian bakat yang hanya di peruntukkan bagi mahasiswa saja. Ternyata pikiran saya jauh melenceng.
Belakangan ini, saya baru mengetahui lapis-lapis makna yang terkandung di dalam nya, ternyata mereka yang mahir memainkan alat musik tradisional di panggung itu tak semata-semata sedang berunjuk kebolehan. Ada pesan yang ingin disampaikan di setiap iringan musik bakelung yang mereka sajikan, ada untaian pesan yang tercurahkan melalui dua orang pemuda yang berlarian di atas panggung sambil memegang tongkat.
Mereka memang berasal dari berbagai daerah yang berbeda, namun mereka tekah diikat oleh visi yang sama yaitu berusaha mempertahankan nilai-nilai keluruhan budaya ditengah perkembangan zaman. Mereka semua tampil pada satu panggung yang di sebut Pordikani.
Di bidang seni, peserta akan menampilkan berbagai macam budaya Sumbawa seperti Sakeco, Ngumang, Tari daerah dan sebagainya. Begitu pula di bidang olahrga, pertandingan semacam sepak bola, volly dan takraw kerap di adakan. Biasanya untuk kedua bidang ini, akan memakan waktu selama 3 hari hingga semua peserta menampilkan yang terbaik. Pada acara puncak, semua hadiah akan dibagikan kepada para peserta yang mewakili kecamatan nya masing-masing.
Perlu kalian ketahui, bahwa pada pagelaran pordikani 2014 ini, Empang keluar sebagai yang terbaik. Empang berhasil menjadi juara umum pada kegiatan tersebut karena tercatat sebagai IKPPM yang paling banyak mengoleksi juara pada berbagai mata lomba. 2014 mungkin akan menjadi tahun yang akan selalu dikenang oleh mahasiswa Empang di generasi berikutnya. Sekali lagi kami berhasil membuktikan diri sebagai IKPPM dengan predikat terbaik.
Dewasa ini, saya menyadari bahwa dibalik alunan musik prodikani ada lapis-lapis pesan yang ingin disampaikan oleh mereka yang dulu memprakarsai munculnya kegiatan ini. Pordikani bukanlah ajang untuk mengklasifikasi yang terbaik dan berbakat, kegiatan ini tidaklah serupa festival dengan seribu predikat juara di dalamnya. Tapi lebih daripada itu, pordikani adalah cara mereka berbicara dengan banyak orang. Pordikani adalah alat pemersatu ribuan mahasiswa Sumbawa yang memadati Mataram.




Cerita tentang goresan manis IKPPM Empang pada pordikani 2014 sampai saat ini masih terpatri dalam ingatan saya. Bukan tentang berapa hadiah yang mereka dapatkan, bukan juga tentang pembuktian sebagai yang terbaik, tapi ini tentang kejujuran mereka dalam memaknai butir-butir peninggalan sejarah. Mereka telah beresonansi dengan semesta untuk menyampaikan berbagai pesan sosial. Dibalik semaraknya pordikani, ada persaudaraan yang terjalin sesama mereka. Di balik gemuruh penonton yang memadati gedung, ada sepenggal cerita tentang dua orang musuh yang kemudian bersahabat. Disana, dibawah lampu-lampu terang yang menyoroti para penari, terdapat cerita tentang kerjasama apik para panitia pelaksana dalam mempersiapkan segalanya.
Tentu saja pordikani banyak menuai pro dan kontra, tidak semua orang menyukai alat musik dan nyanyian. Sebagian orang ada yang lebih senang memegang megaphone ketimbang alat tabu, sebagian lagi ada yang lebih senang menenteng spanduk di jalan ketimbang menjadi penonton pada sebuah pertunjukan. Namun, dibalik segala bentuk interpretasi yang berkembang, di balik segala stigma yang di berdatangan, pordikani tetaplah taman eksplorasi yang luas. Di dalamnya tertimbun lapis-lapis pesan baik yang coba di utarakan.
Bagi mereka yang berada pada jalur bersebrangan, mungkin pordikani hanyalah guyonan yang melunakkan, tapi jika mereka memahami konteks perjuangan, maka mereka akan mengerti kenapa berbagai revolusi besar yang terjadi di dunia ini justru bermula dari hal-hal kecil yang tidak terduga. Di peru, sebuah aksi mencuci bendera telah berhasil memicu lahirnya revolusi, jatuhnya rezim Slobodan Milosevic di awali dengan aksi mengutak atik program photoshop. Permainan apik Didier Drogba bahkan mengharu biru pantai gading yang tengah diguncang konflik. Kita juga bisa belajar dari Malala, gadis 25 tahun yang pidatonya menggetarkan rezim yng menebar teror.
Dalam banyak hal kita dituntut untuk lebih jernih dalam memaknai realitas. Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk berafiliasi dengan zaman, jika dulu bentuk perlawan itu selalu identik dengan demonstrasi dan aksi bakar ban, mungkin sekarang telah berbeda. Untuk itu kita harus lebih terbuka kepada mereka yang memilih jalan lain. Dalam hal ini saya lebih mengamini sebuah ungkapan klasik yang mengatakan bahwa "banyak jalan menuju roma." Kita bebas memilih gerbong mana saja untuk ditumpangi, karena maghnet itu hanya akan bekerja pada medannya masing-masing.
Sumbawa, 30 Juni 2015
Komentar
Posting Komentar