Langsung ke konten utama

Saat Wacana Normalisasi Sungai Tak Kunjung Direalisasikan


Sungai yang Mengenaskan

Minggu ini saya menghabiskan waktu di kampung halaman, Empang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Saya hendak melakukan observasi kebahasaan di pesisir timur Sumbawa, sekitaran Teluk Saleh. Meski tugas ini telah rampung sejak dua hari yang lalu, namun saya memilih untuk menetap beberapa hari demi melepas rindu dengan keluarga.

Tinggal di kampung halaman memang menyenangkan. Ada selapis kebahagiaan saat berada ditengah-tengah orang tercinta. Ada banyak pula kenangan manis dimasa kecil untuk dikenang kambali. Desa merekam semuanya dengan baik disetiap sudut. Namun dibalik semua itu, selalu saja ada kegetiran saat menyaksikan sekelebat pemandangan sekitar. Banyak hal yang berubah. Sejak modernisasi dan perekenomian berbasis di kota-kota, pembangunan di desa seperti diabaikan.

***

Pagi itu, saya bertemu seorang tetangga yang berprofesi sebagai petani. Ia tengah merokok di teras rumah, sambil memandang sungai yang serupa lautan sampah. Seperti biasa, lelaki itu sangat ramah saat saya menyapanya. Ia kemudian bercerita tentang lalu lalang petugas proyek yang memotret keadaan sungai itu namun hingga kini tak jua terealisasikan pengerjaannya.

Ia mengungkapkan satu kepingan realitas yang tengah dihadapi warga bantaran sungai. Katanya, sungai itu beralih fungsi sebagai tempat pembuangan sampah. “Mungkin karena letaknya yang strategis” tambahnya. Sebagai orang yang lahir dan besar di kampung, saya sudah terbiasa dengan fenomena seperti ini.

Lelaki itu terus bercerita. Beberapa waktu lalu, warga kami dilanda banjir hingga dua kali berturut-turut. Penyebabnya tentu saja karena kondisi hutan yang tak lagi lebat karena maraknya pembalakan liar, ditambah lagi timbunan sampah yang berpotensi menyumbat aliran sungai. Sejumlah wakil rakyat juga berdatangan memberi bantuan saat itu, tapi tak banyak solusi yang mereka berikan tentang bagaimana gerak pemerintah dan lembaga terkait untuk mengatasi masalah serupa agar tak terjadi lagi dikemudian hari.

Ia kemudian melucuti saya dengan banyak pertanyaan. Kenapa pemerintah tidak menyediakan tempat pembuangan akhir yang layak bagi masyarakat? Kenapa tak ada regulasi yang mengharuskan setiap warga untuk menampung sampah-sampah itu didepan rumahnya, lalu setiap seminggu sekali petugas kebersihan akan mengangkutnya untuk kemudian dibawa ketempat pembuangan akhir? Kenapa begini, kenapa begitu?

Bantaran Sungai

Di ujung pembicaraannya, ia membincang dana desa yang luar biasa jumlahnya itu. Katanya, kenapa dana desa justru lebih banyak berkutat pada pembangunan rabat beton? Kenapa dana itu tidak dipergunakan untuk melakukan pengerukan atau normalisasi sungai? “Saya takut kalau-kalau terjadi banjir yang lebih besar lagi” ungkapnya.

Pagi itu, saya datang sebagai pendengar. Saya mencatat detail keluhan yang ia sampaikan. Terutama normalisasi sungai yang harus dilakukan dengan segera. Sayapun berjanji akan menyampaikan kisah itu kepada wakil rakyat dan pemerintah, dengan harapan mereka bisa membuat satu regulasi yang memunggungi masyarakat bantaran sungai.

Dari cerita singkat tetangga itu, saya mendapati timbunan kisah tercecer yang luput dari pantauan publik. Ada banyak masalah yang terabaikan, namun ada pula begitu banyak potensi dan harapan yang terus bermekaran. Sayang sekali, semua kenyataan itu laksana kabut asap yang mudah disibak.

Silih berganti kepemimpinan, pemerintah kita masih berpikir dalam gaya lama. Birokrasi tidak diarahkan untuk menyerap kearifan dan kekuatan semua unsur hingga menjadi amunisi yang sesaat bisa meledak demi menggapai perubahan. Pemerintah tak menempatkan humas-humas mereka hingga ke level bawah yang bertugas merekam segala dinamika yang terjadi, lalu memberikan respon dengan cara yang tepat agar pemerintah bisa segera menyelesaikannya.

Di berbagai media, kita sering menemukan kisah-kisah positif tentang kerja-kerja pemerintah, serta kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat. Padahal di lapangan, seringkali kita menemui kenyataan yang sebaliknya. Publikasi itu lebih menekankan pada pencitraan seorang pejabat, ketimbang selapis realitas lapangan. Yang kerap kali muncul adalah sebongkah pencitraan yang menutupi banyak kegetiran.

Memang, pembangunan itu adalah kerja-kerja semua pihak. Bukan hanya kerja pemerintah, tapi juga kerja tetangga saya yang berprofesi sebagai petani tadi. Namun, mereka tetap berhak untuk mengeluh dan mempertanyakan kinerja pemerintah yang mereka gaji setiap bulannya.

Sebagai rakyat, mereka punya hak untuk mencela seseorang yang digaji tinggi dari setiap peser uang yang mereka bayarkan. Mereka punya hak untuk mempertanyakan amanah yang mereka titipkan untuk digunakan sebaik-baiknya demi kemaslahatan orang banyak. Mereka hanya berharap pembangunan selalu menjadi proses yang memanusiakan.

Di akhir pertemuan itu, ia mempersilahkan saya untuk menyeruput kopi hitam yang telah disediakan terlebih dahulu sebelum beranjak. Tanpa banyak bicara, saya lansung meneguknya. Syruuuuppppppp.

Sumbawa, 21 Juli 2017

Komentar

  1. Memang juarak abang ini 🙌

    BalasHapus
  2. Masih sedih kalau lihat sungai-sungai di pusat suburban.

    Semoga ketika ada tokoh masyarakat yang bergerak menormalisasi sungai-sungai di pusat kota, kita semua di barisan terdepan yang membantu mereka.

    Minimal dukungan literasi.

    Amin ya Rabb.

    BalasHapus
  3. Masalah samph dan sungai memang nggk pernah habis utk dikulik.sebab kesadaran it blm ada

    BalasHapus
  4. lebih parah yang di kota mas, deket rumah saya airnya udah bukan ijo lagi tapi dah kayak cappucino latte. Wah kalau sungai di desa aja kayak gini gimana nasibnya yah. sekarang sungai-sungai udah malah berubah semua, ehh bukan sungainya tapi perilaku manusianya yang selalu ngerusakin sungai tanpa mau peduli lingkungan sekitarnya.

    BalasHapus
  5. sampah itu emang udah menjadi masalah dari jaman baheula, kenapa..? karena gaya hidup manusi nggak lepas dari sampah.

    oke mungkin benar pemerintah blum maksimal, tapi kalo boleh ngasi pendapat sebenernya manusianya sendiri yang perlu kita sadarkan.
    bukan tanpa alasan ane bilang gini, soalnya sering banget ngeliat di dekat kali yang punya tempat pembuangan sampah, tapi masyarakat di sekitarnya nggak peduli dan tetap buang ke kali.
    fiuh... Pe Er kita emang banyak Bhro.
    yuk semangat semangat Dukung GErmas eh..
    :D

    salam blogger dan salam Hoki

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih