Langsung ke konten utama

AHY, Soft Power, dan Sebuah Antitesis Untuk Jokowi



Tak ada momentum yang paling menarik minggu ini selain menyaksikan presentasi ilmiah Agus Harimurti Yudhoyono, yang kerap disapa AHY. Tokoh yang ikut meramaikan bursa pencalonan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu itu, mengunjungi Lombok baru-baru ini. Agus turut serta bersama rombongan mantan presiden dua periode, Susilo Bambang Yudhoyono dalam agenda Rakornas partai demokrat di NTB.

Beberapa kali saya hanya bisa menyaksikan Agus berdebat melalui layar kaca. Di banyak pembicarannya, ia kerap mengkomparasikan teori kepememipinan militer serta berbagi pengalaman saat dirinya masih berseragam TNI dulu. Begitu pula saat debat kandidat calon gubernur DKI tempo hari.

AHY memang digadang sebagai tokoh muda yang diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi warga ibukota. Dia memiliki segudang prestasi dan track record bagus diusianya yang masih belia. Namun pada kenyatannya, para pengamat justru memprediksi bahwa pria ini tidak akan memberi kejutan apapun di ajang lima tahunan tersebut.

Dari awal sejak bola panas pilkada DKI bergulir, Agus Harimurti Yudhoyono tidak begitu diperhitungkan. Pemberitaan tentang paslon bernomor urut satu inipun tidak begitu massif.  Berbagai media publik lebih banyak berkutat pada hingar bingar politik bernuansa agama yang melibatkan dua tokoh kandidat lain.

Benar saja, hasil pilkada DKI seakan mengamini prediksi banyak orang. Pemuda itu memang tak mampu berkutik. Dia hanya bisa mengemas 17 persen suara saat penghitungan. Angka ini tentu tak begitu menyenangkan baginya. Poling yang ia dapatkan jauh berada dibawah dua kandidat lain yang rata-rata mengumpulkan suara di atas 35 persen.

Di mata saya, AHY adalah fenomena baru yang tiba-tiba mencuat di pilkada DKI. Dia merupakan satu diantara banyak nama yang berhasil menorehkan jejak manis di dunia kemiliteran. Sayang, pilkada DKI membuat suami dari Annisa Pohan ini silau. Dia menanggalkan seragam TNI dan memilih mengikuti jejak ayah dan saudaranya untuk terjun ke pusaran politik.

Namun setelah gagal di ajang itu, saya menunggu-nunggu apa gerangan yang akan dilakukannya. Saya masih menanti episode baru dari AHY. Satu bagian dimana sang prajurit akan kembali beraksi dengan senyap, cepat, dan tepat untuk menguasai arena lalu menancapkan bendera kemenangan.

***

Dari atas tribun penonton, gadis-gadis itu berteriak histeris. Mereka nampak tak sabaran saat memandang panggung. Di sana, saya menyaksikan seorang lelaki muda berperawakan tinggi, gagah yang sesekali melempar senyum kepada semua orang.

Lelaki itu adalah Agus Harimurti Yudhoyono. Mantan perwira tinggi TNI yang namanya mulai akrab ditelinga publik. Di kalangan remaja, pemuda lulusan Hardvard University ini memang sangat digandrungi. Selain berparas tampan, AHY juga memiliki kapasitas intelektual yang tidak bisa diragukan.

Malam itu, Agus berbicara pada satu forum yang melibatkan sejumlah aktivis kampus, akademisi, hingga kalangan birokrat yang bertajuk Mencari Pemimpin Muda Menuju Satu Abad Indonesia 2045 di Gelanggang Pemuda Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Agus memulai pembicaraannya dengan berbagai isu internasional. Dia membahas tentang model persaingan modern antar negara-negara adidaya, membahas bagaimana strategi negara itu dalam menduniakan segala yang mereka miliki, lalu dengan perlahan mulai menggiring opini peserta pada kesiapan Indonesia dalam menyambut satu abad kemerdekaan yakni pada tahun 2045 nanti.

Agus banyak mengungkap tentang konsep persaingan di abad modern. Dia lebih banyak bercerita tentang Soft Power. Sebuah konsep hegemoni modern yang pertama kali didefinisikan oleh ilmuan politik dari Hardvard University, Joseph Nye. Dalam satu publikasi, Nye menulis tentang Soft Power sebagai kekuatan tak terlihat yang dimiliki sebuah negara melalui citranya ketimbang melalui kekuatannya. Mereka yang menjadi para aktor, sedang gencar membangun fundasi industri, menyerbu pasar dunia ketiga, lalu berusaha menginvasi negara lain melalui berbagai produk budaya populer.

Invasi itu bahkan merambah hingga Timur Tengah. Di Iran, drama Korea berjudul Jewel in the Place sedemikian populer, sampai-sampai orang Iran dilaporkan mengatur jam makan agar tidak bentrok dengan penayangan serial ini.

Begitu pula di Indonesia, setelah Korea, drama Turkey dan India adalah yang paling sering ditayangkan melalui berbagai stasiun televisi swasta. Padahal, budaya ini hanyalah pintu masuk bagi berbagai produk ekonomi luar yang secara perlahan akan menggeser serta menggilas produk lokal.Tanpa disadari, mereka tengah bergerak secara massif untuk menciptakan hegemoni.

Di sisi lain, dunia juga tengah disibukkan oleh perang boneka atau Proxi War. Perang ini lebih banyak melibatkan negara-negara islam di timur tengah. Model peperangan seperti ini memang menyajikan pertentangan antar dua negara, namun keduanya tidak terlibat secara lansung melainkan menggunakan pihak ketiga. Mereka melakukan persaingan untuk mengusai berbagai sumber energy dan air yang telah diprediksikan akan mengalami kekurangan dalam waktu dekat.

Di kalangan akademisi, isu ini telah lama diperbincangkan secara serius. Mereka mengkhawatirkan kalau suatu waktu negara kita terjebak pada konsep perang boneka. Secara potensial, Indonesia masih memiliki ketersediaan energy dan air yang memadai. Bisa jadi Indonesia adalah sasaran selanjutnya. Proxi War dan Soft Power adalah ancaman serius bagi bangsa kita saat ini. Keduanya adalah batu besar yang bisa menghambat pencapaian emas bangsa kita pada 2045 mendatang.

Sebagai mantan militer, tentu Agus memahami dengan baik berbagai ancaman ini. Dia telah lebih dulu berkutat dengan segala bentuk konflik internasional yang melibatkan banyak negara. Dia adalah mantan prajurit yang terbiasa melakukan perenungan terhadap berbagai fenomena yang tidak bisa dideteksi semua orang.

Malam itu, saya tak terlalu mengikuti detil-detil presentasi AHY. Saya hanya menyaksikan pemuda itu beberapa kali dari belakang kerumunan. Sepintas, pertemuan itu serupa kuliah umum yang sering saya ikuti. Agus lebih mirip seorang doktor yang sedang membagikan kisi-kisi kepada mahasiswanya.

Di balik kunjungan dan presentasi hebat AHY, saya melihat satu hal yakni manuver cepat yang ia lakukan bersama Demokrat. Setelah kalah telak di pilkada DKI, ia mulai rajin berkeliling dan berbicara pada banyak orang. Saya menduga kuat, Agus sengaja dipersiapkan untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pimpinan partai. Bahkan, dia diproyeksikan sebagai pemimpin antitesis Jokowi.

Saya meyakini bahwa keputusan kontroversial yang dilakukan Agus saat menolak status jendral yang sebentar lagi akan disandangnya bersama TNI bukanlah semata-semata untuk memenangi pertarungan kursi 1 DKI. Pilkada itu hanyalah wadah pengenalan, sekaligus pembelajaran baginya untuk bertempur dimedan lain yakni saat pilpres mendatang.

Jika hendak dinilai dari sisi politik, gebrakan yang sedang ia lakukan terbilang senyap. Tapi secara perlahan, ia mulai mendapat tempat di hati banyak orang. Entah, apakah kehadirannya itu memang sengaja didesain, namun Agus tengah menampilkan satu ritme permainan yang menarik. Sesungguhnya, dia tengah melancarkan metode Soft Power itu sendiri. Agus sedang berusaha membangun citra diri. Itulah alasan logis mengapa Demokrat secara berani mengusungnya di ajang pilkada lalu.

Sejauh ini, memang nama AHY adalah pilihan tepat jika demokrat tidak ingin tersingkir dari persaingan intrik politik. Secara sederhana, kekuatan Agus bisa dilihat dari beberapa argumentasi. Pertama, publik suka dengan hal baru. Mereka suka perubahan. Mereka suka dengan sosok muda yang berintegritas.

Hal serupa bisa dilihat saat masyarakat mengelukan Jokowi sebagai sosok baru yang punya reputasi. Agus pun punya potensi untuk disukai karena reputasi dan rekam jejak hebat. Agus juga tak bisa diragukan dari sisi intelektualitas.  Sebagai sosok berlatar belakang militer, dia memiliki kecerdasan dalam seni adu taktik dan strategi. Jika kemampuan itu dikemas dengan baik dalam satu irama kerja-kerja politik, hasilnya bisa menjadi dahsyat.

Kedua, Agus adalah putra Susilo Bambang Yudhoyono, presiden dua periode Indonesia. Agus memang aktor baru dalam dunia politik, namun dibelakangnya berdiri nama besar sekaliber SBY. Publik masih ingat, saat Demokrat memenangi pemilihan lansung secara beruntun meski berstatus partai baru.

Bersama Demokrat, SBY dengan cepat menggeser hegemoni dua partai lain yang lebih dahulu eksis seperti Golkar dan PDI-P. Sebagai mantan presiden, tentunya ia memiliki modal sosial dan modal kultural yang siap diwariskan kepada anaknya.

Dunia politik memang penuh krikil dan bebatuan. Siapapun yang memasukinya mesti siap untuk menghadapi terjangan isu. Agus telah menentukan pilihan. Dia harus berjalan diantara kerikil tajam dan bebatuan yang setiap saat bisa saja membuatnya tersandung. Kematangannya akan ditentukan pada sejauh mana dia bisa bertahan. Yang pasti, menarik menunggu kejutan Agus selanjutnya.

Mataram, 11 Mei 2017

Komentar

  1. Selamat menjelang siang bang, numpang baca2 dari Selong Lotim yaaa.

    Wah, tulisan politik. Mau komen apa yaaaa..

    Tunggu sampe pilpres lagi saja dah ya, baru ikutan komen.
    Hehehehe..

    BalasHapus
  2. AHY...kayanya udah nggak penting lagi deh...ngomong apaan ge, siapa dia...kecian deh yu

    BalasHapus
  3. ini blognya berat banget tulisannya, soal politik hihihiii..
    mantap. lanjutkan. walau saya tdk mengerti harus komen apa yang kliatan pintar hahahahaa

    BalasHapus
  4. kita tunggu episode berikutnya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k