Langsung ke konten utama

Mawar Hitam Untuk Saudara di Samarinda


Suasana haru kembali menyelimuti Indonesia. Melalui media sosial, saya melihat begitu banyak ucapan duka yang mengalir kepada para saudara di Samarinda. Sebagian ada yang menggunakan tagar 'RIP Intan' untuk mengungkapkan kesedihan. Intan Olivia Marbun merupakan seorang balita korban ledakan bom molotov di depan Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur, pada Minggu, 13 November 2016 lalu.

Bom rakitan dengan kekuatan rendah low explosive itu diledakkan di halaman gereja ketika jemaat melakukan kebaktian dan merusak empat buah motor yang parkir di sana. Yang lebih mengharukan adalah beberapa anak yang tengah bermain di halaman gereja, juga ikut menjadi korban.

Melalui layar kecil ponsel, saya melihat beberapa sahabat di twitter yang ikut menyatakan duka mendalam atas kejadian tersebut. Ada yang mengatakan "Apapun agamamu, tempat terbaik utk anak tak berdosa sepertimu adalah di surga." Seketika batin saya meleleh, sembari meresapi setiap ungkapan belasungkawa yang dituliskan.

Di postingan lain saya juga menemukan komentar "Aku membayangkan Intan lagi merajuk ke Tuhan. Gak mau bicara. Tuhan berusaha membujuk. Anak itu masih pengen main sama kawan2nya." Intan menjadi salah satu korban dari ketidakpahaman seseorang dalam memaknai nilai-nilai kebenaran.

Melihat beberapa tanggapan yang berseliweran di media sosial, saya kemudian membatin. Mengapa tak banyak aksi protes yang lahir atas aksi pelemparan bom yang tidak bertanggung jawab ini? Bukankah aksi tersebut telah berhasil memainkan orkestra duka mendalam bagi para saudara kita di Samarinda?

Mengapa pula kejadian itu tidak mampu memicu kesadaran publik lalu atas nama kemanusiaan, berjalan beriringan dalam mengutuk segala aksi teror yang kerap melanda negeri ini. Di mata saya, apa yang terjadi di Samarinda merupakan penistaan terhadap agama yang sesungguhnya. Mereka telah berhasil melumuri negeri ini dengan duka yang tak berkesudahan.

Mungkin saja lelaki yang melempar bom itu merasa tengah menegakkan kebenaran. Dia merasa telah melakukan ajaran tuhan yang sebenarnya. Dia berpandangan bahwa mereka yang berada pada gelombang pemahaman yang berbeda, tidak berhak atas rasa nyaman, lalu sekenanya melemparkan sesuatu yang mematikan dikawasan peribadatan sehingga melahirkan rasa ketegangan dan menimbulkan banyak korban.

Melihat realitas yang terjadi, perlahan saya mengamini apa yang pernah dikatakan oleh Ibnu Rusyd bahwa "Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang bathil dengan kemasan agama." Fenomena ini membuat saya termenung, memikirkan betapa banyak umat beragama yang hanya memikirkan bagaimana menegakkan simbol-simbol dari agama tersebut tanpa memikirkan bagaimana tujuan beragama yang sebenarnya.

Mereka hanya menjadikan agama sekedar bacaan saat beribadah, namun lupa membumikannya dalam ladang kehidupan. Mereka alpa untuk menjadikan agama sebagai pemberi rahmat bagi sekitar, lupa menjadikannya pupuk yang menggemburkan kehidupan, tidak menjadikannya sebagai jembatan untuk mencapai kebahagiaan.

Di Indonesia, agama belum sepenuhnya mampu didefinisikan sebagai kompas yang menuntun langkah setiap orang pada kebaikan, agama tidak dijadikan sebagai embun perdamaian sehingga mampu meredam api amarah yang tengah berkecamuk. Tak menjadikannya sebagai lilin penerang didalam gerbong gelap kereta tua bernama Indonesia, tidak menjadikannya sebagai makanan yang mengandung nutrisi sehingga melahirkan energi positif bagi dunia sekitar.

Di tengah keadaan negeri yang carut marut atas kasus penistaan agama, lelaki pelaku pelemparan bom di Samarinda, lebih memilih untuk kembali menebar ancaman melalui aksi terkutuk. Lelaki itu tidak sadar bahwa sesuatu yang ia lempari telah mengubur gelak tawa banyak orang.

Dia tidak memikirkan bagaimana trauma yang di diderita oleh anak-anak dari korban pelemparan bom tersebut. Bagaimana anak-anak itu harus kehilangan bab-bab terpenting dalam kehidupan mereka. Bagi korban yang selamat, orang tuanya harus menata ulang masa depan anak-anaknya. Para orangtua harus mampu meyakini si anak bahwa apa yang terjadi hanyalah sesuatu yang kebetulan.

Para orang tua harus meyakini anak-anaknya bahwa apa yang tengah menimpa mereka, tak memiliki relasi dengan perbedaan keyakinan yang kerap menjadi tembok pemisah. Bahkan anak-anak itu harus diyakini bahwa kelak ketika dewasa dan mereka hendak menjadi pemimpin di suatu wilayah, keberagaman dan keyakinan mereka tidak akan dipertanyakan oleh orang banyak.

Dibalik gemuruh air mata masyarakat Samarinda, banyak netizen yang mempertanyakan mengapa perlawanan atas aksi teror itu tidak banyak bergaung di media sosial. Tak ada aksi demo besar-besaran atas kejadian tersebut. Mereka hanya melakukan aksi mengutuk. Seolah-olah dengan mengutuk, selesailah persoalan.

Duka anak-anak korban bom di Samarinda, adalah duka kita semua. Mereka adalah serangkaian cerita panjang dari para korban aksi memilukan di negeri ini. Mereka adalah anak-anak polos yang terpaksa menjadi tumbal atas kesalahpahaman dan kebodohan segelintir orang. Semoga tuhan menitipkan angin kesabaran di sela-sela bebatuan hati para keluarga korban.

Mataram, 17 November 2016

Komentar

  1. Iya peristiwa ini bikin nyesek banget. Marah, kecewa, gusar, bingung bercampur jadi satu. Apa sih maksud pelaku ini? Mau membela atau menghancurkan?! Mungkinkah mengadu domba?

    Intan sudah di surga dan semoga keluarga dan masyarakat bisa menerima takdir (segala yang sudah terjadi adalah takdir) ini dengan legowo. Keadilan yang sebenarnya hanyalah milik Allah.

    Hmm..semoga masyarakat Indonesia semakin dewasa. Piissss..!!

    BalasHapus
  2. Anak anak jadi korban, sungguh terlalu. Ini menunjukan bangsa Indonesia belum dewasa sama sekali. Gampang diadu domba mengatasnamakan agama. Menyedihkan.. :'(

    BalasHapus
  3. Sedih gan, sumpah kasian banget kenapa harus anak kecil yang jadi korban, gak punya hati memang pelakunya.

    BalasHapus
  4. miris saya dan sangat prihatin. agama Islam dan Nabi Muhammad SAW pun tidak mengajarkan hal2 seperti itu. Jadi memang quote "Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang bathil dengan kemasan agama." benar adanya

    BalasHapus
  5. Samarinda berduka
    Ah aku ga tega klo uda berita tentang bom, ujung2nya banyak korban tak berdosa yang malah semakin menderita...misal yang ditinggal pergi suami atau aysh atau anaknya...
    Semoga nkri tetap utuh, ga ada provokator yg berupaya memecah belah

    BalasHapus
  6. Benar sekali saat ini Indonesia sedang banyak2nya isu fitnah yang menyebarkan rasa kebencian terhadap umat..
    Semoga Indonesia bisa damai kedepannya ya!...

    BalasHapus
  7. Krn menurut saya, kbanyakan mreka jg belom paham mengapa mereka beragama. Beragama krn emang menemukan jati dirinya disana atau emang hanya ikut2 semata

    Ketika seseorang menemukan kenyamanannya dlm mempraktekkan agamanya, yakin deh saya gak bakal ada hal2 beginian

    BalasHapus
  8. ikut berbelasungkawa dan jujur saya merinding pun terharu baca tulisan di atas :, (

    BalasHapus
  9. Baca berita tentang di Samarinda, jujur miris banget. Semoga Indonesia selalu ada dalam kedamaian dan ketentraman.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih